UTAMA
Penutupan KD tidak Boleh Ciptakan Persoalan Baru
Kupang, penatimor.com – Rencana penutupan lokasi pelacuran Karang Dempel (KD) di Kecamatan Alak, Kota Kupang, dinilai memang harus dilakukan, karena tidak ada aturan yang memperbolehkan aktivitas pelacuran untuk umum.
Namun dalam proses penutupan tersebut, pemerintah terlebih dahulu harus berdiskusi, sosialisasi, dan menyiapkan solusi untuk mengantisipasi dampak negatif yang terjadi pasca penutupan.
“Negara sudah tentu melarang, karena tidak ada aturan yang memperbolehkan aktivitas pelacuran di Indonesia, begitu pun agama. Namun karena hal tersebut sudah berjalan, maka penutupan tidak boleh serta merta dilakukan begitu saja, sebab di situ ada kehidupan, yakni ada aktivitas orang menghidupi diri sendiri, keluarga dan orang lain,” kata Sekretaris Komisi I DPRD Kota Kupang, Adrianus Talli.
Legislatif PDIP asal Dapil Kelapa Lima ini, mengungkapkan, untuk menutup KD, harus ada diskusi dari pemerintah yang diikuti dengan solusi yang disiapkan bagi para Wanita Pekerja Seks (WPS).
Sehingga, dampak dari penutupan KD nantinya tidak menimbulkan hal-hal negatif yang lain.
“Diskusi, sosialisasi, dan penyiapan solusi itu penting. Tidak boleh menyelesaikan sebuah persoalan dengan menimbulkan persoalan yang baru,” katanya.
Menurut Adrianus, jika selama ini para pekerja seks telah menghidupkan diri sendiri dengan pekerjaan melacur, maka ketika ditutup sudah tentu mereka tidak lagi memiliki sumber penghasilan untuk hidup.
Untuk itu harus ada solusi yang disiapkan Wali Kota, yakni minimal membekali mereka dengan keterampilan yang bisa digunakan untuk menghidupi diri.
Pemerintah harus mempersiapkan para pekerja seks sesuai keahlian masing-masing, kemudian diberi bantuan modal yang sesuai dengan keahlian tersebut. Tujuannya agar mereka bisa beralih dari pekerjaan melacur ke pekerjaan lain yang baru yang lebih baik.
Terkait rencana pemulangan WPS pasca penutupan KD, Adrianus menilai Wali Kota harus memperhatikan proses dan mekanisme pemulangan secara baik.
Jika seorang WPS sudah tercatat sebagai warga Kota Kupang, memiliki administrasi dasar kependudukan seperti KTP-e Kota Kupang, maka tidak semudah yang dibayangkan Wali Kota untuk memulangkan mereka ke daerah asal suku mereka.
“Aturan administrasi kependudukan jelas mengatur tentang hak dari seorang penduduk atau warga negara. Jika dipindahkan maka harus didukung dengan surat permohonan pindah dari yang bersangkutan. Jika WPS tersebut tidak mau pulang ke daerah suku asalnya, maka Wali Kota tidak bisa memaksa dia untuk pindah. Sebab dia juga warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk hidup di mana saja selagi masih di dalam wilayah negara Republik Indonesia,” jelas Adrianus.
Dia melanjutkan, jika seorang warga negara Indonesia, siapa pun dia, ketika sudah mengambil keputusan untuk hidup dan menjadi warga Kota Kupang dan didukung dengan kepemilikan administrasi dasar berupa KTP-e, maka orang tersebut telah sah menjadi warga Kota Kupang, dan siapa saja tidak memiliki kewenangan untuk menyuruh apalagi memaksanya untuk pindah.
WPS yang diperkirakan dapat dipulangkan ke daerah asal pasca penutupan KD, kemungkinan adalah WPS yang merupakan warga lokal NTT namun bukan warga Kota Kupang.
WPS tersebut bisa saja memiliki administrasi dasar berupa KTP-e kabupaten lain, namun datang ke Kota Kupang untuk bekerja.
Untuk itu Adrianus Talli menilai, rencana penutupan KD pada tanggal 1 Januari 2019 oleh Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore sebaiknya ditunda, agar pemerintah bisa mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan mekanisme pemulangan serta jaminan kehidupan yang lebih baik bagi WPS usai KD ditutup.
“Penutupan KD sebaiknya ditunda saja selama satu atau dua tahun, sebab Pemerintah Pusat tidak mengetahui secara pasti kondisi di Kota Kupang, dan Wali Kota juga tidak bisa mengikuti begitu saja tanpa diskusi-diskusi mendalam terkait persiapan terhadap dampak serta solusi yang harus diberikan kepada WPS pasca KD ditutup. Harus ada keterampilan kerja yang diberikan bagi WPS, agar ketika berhenti sebagai PS maka sudah bisa mandiri dengan pekerjaan yang lebih menjanjikan untuk menghidupi diri, keluarga dan orang lain yang menjadi tanggungan,” tutupnya. (R1)