SOSBUD
Ruth Lau Serang: Dedikasi untuk GMIT di Tanah Lembata

LEWOLEBA, PENATIMOR – Ini kisah inspiratif tentang seorang perempuan sederhana yang berasal dari pedalaman Pulau Pantar, Alor, tepatnya dari Desa Aramaba, Kecamatan Pantar Tengah. Namanya Ruth Lau Serang.
Meskipun hanya menyelesaikan pendidikan SMP, komitmennya untuk mendedikasikan seluruh hidupnya untuk pelayanan gereja GMIT di negeri Sembur Paus, Lembata, patut untuk disimak.
Ruth menjadi pilar utama dalam pertumbuhan GMIT di Lembata, khususnya dalam pembangunan jemaat di GMIT Solafide dan Pos Pelayanan Filadelfia Hadakewa.
Kisah ini dimulai ketika Ruth datang ke Lewoleba, Lembata, mengikuti calon suaminya, Mesak Weni Gerimu, yang telah tinggal dan bekerja di Lembata sejak tahun 1970an.
Pada tanggal 8 Agustus 1980, Ruth menginjakkan kakinya di Bumi Lepan Bata atau yang dulu dikenal dengan Lomblen.
Hanya dalam dua hari setelah kedatangannya di Lewoleba, yaitu pada tanggal 10 Agustus 1980, Ruth dengan penuh semangat mulai melayani jemaat mula-mula di pusat kota Lewoleba.
Sebelumnya, pelayan warga GMIT di Lewoleba adalah seorang pria bernama Adam Adang, yang juga berasal dari Alor.
Namun, karena Adam Adang mulai sakit-sakitan, dia memilih untuk kembali ke kampung halamannya, meninggalkan jemaat.
Pada saat itu, jemaat mula-mula yang berjumlah tujuh orang, termasuk Ruth, beribadah di kediaman seorang pria keturunan Tionghoa, yaitu Baba Giap, yang tinggal di pusat kota Lewoleba. Terdiri dari dua perempuan, termasuk Ruth, dan lima laki-laki, termasuk calon suaminya, Mesak Weni Gerimu, serta Edward dan Enos.
Ketika Adam Adang hendak pulang ke Alor, dia menyerahkan kepada Ruth sebuah Alkitab gereja yang biasa digunakan untuk pelayanan kebaktian.
Pada tanggal 10 Agustus 1980, Ruth dengan penuh dedikasi meneruskan pelayanan kebaktian kepada jemaat yang ditinggalkan oleh Adam Adang.
Meskipun beberapa warga GMIT telah ada di Lewoleba saat itu, seperti Philipus Maak, Christian Ndapamerang, dan Elias Wadu Lay, mereka belum tahu tentang persekutuan tersebut, sehingga belum bergabung dalam ibadah bersama ini. Ketiga orang ini adalah anggota Polri yang bertugas di Lembata.
Baba Giap dengan baik hati mengizinkan salah satu ruangan di rumahnya digunakan sebagai tempat ibadah setiap minggu.
Setelah beberapa waktu, Mesak Gerimu menceritakan kepada Elias Wadu Lay dan Christian Ndapamerang bahwa kebaktian telah kembali berjalan setiap minggu dan dipimpin oleh calon istrinya.
Kabar ini menyebar dengan cepat dan mendapat respon yang luar biasa, sehingga jumlah jemaat yang ikut beribadah bersama semakin bertambah.
Selain aktif memimpin ibadah setiap minggu di kediaman Baba Giap selama dua tahun lebih, Ruth juga terus membangun komunikasi dengan seluruh jemaat untuk rencana pembangunan gedung gereja.
Christian Ndapamerang, seorang anggota Polri asal Sumba, kemudian menginisiasi rapat bersama untuk merencanakan pembangunan gedung gereja. Saat itu, gereja sudah memiliki tanah di wilayah Wangatoa.
Di dalam lahan gereja tersebut, sudah ada sebuah rumah darurat yang dulunya ditempati oleh Adam Adang. Rumah ini kemudian dihuni oleh Ruth dan Mesak.
Tanggal 18 Februari 1982, Ruth ditahbiskan menjadi seorang penatua oleh Pdt. Mboeik dari GMIT Ebenhaezer Larantuka.
Ruth tidak menjalani perjalanan ini sendirian. Dia bersama lima orang lainnya yang juga ditahbiskan sebagai presbiter, termasuk Yohanes Kote, Mien Witak, Marthen Busi, Christian Ndapamerang, Sony Naley, dan Elis Helo. Enam presbiter ini secara bergantian melayani kebaktian setiap minggu, meskipun pada saat itu belum ada gedung gereja.
Oleh karena itu, ibadah Minggu dipindahkan ke rumah darurat yang dihuni oleh Ruth dan Mesak, dengan ruang bagian depan dijadikan tempat ibadah.
Persiapan untuk membangun gedung gereja terus dilakukan, dan akhirnya, sebuah gedung gereja permanen yang mungil dibangun. Meskipun belum sempurna, namun gedung ini sudah digunakan untuk ibadah.
Beberapa waktu kemudian, Sinode GMIT mengutus seorang vikaris bernama Marthen Kian untuk melayani di jemaat tersebut, karena pada saat itu tidak ada pendeta yang melayani di Lewoleba.
Namun, pelayanan oleh Marthen Kian tidak berlangsung lama karena dia ditarik kembali oleh Sinode GMIT ke Kupang.
Kemudian, Marthen digantikan oleh seorang penginjil bernama Is Manafe yang melayani di GMIT. Beberapa tahun kemudian, Is Manafe dipindahkan untuk melayani di jemaat Imanuel GMIT di Waiwerang, Adonara. Di masa pelayanan Is Manafe lah, jemaat ini akhirnya dinamai Solafide.
Setelah Is Manafe, Majelis Sinode GMIT mengutus Pdt. Jack Ingutasi, SM.Th., sebagai pendeta pertama di GMIT Solafide Lembata.
Pdt. Jack Ingutali kemudian digantikan oleh Pdt. Zet Sabu Bayang, S.Th., selanjutnya Pdt. Andreas Mauleti, S.Th., Pdt. Paulina Adoe, S.Th., Pdt. Fred Daniel Blegur, S.Th., dan saat ini dipimpin oleh Pdt. Imanuel Talan, S.Th.
Kisah tentang dedikasi dan perjuangan Ruth Lau Serang untuk memelihara iman, dan membangun gereja GMIT di tanah Lembata menjadi inspirasi bagi kita.
Dia telah menghadapi banyak tantangan dan rintangan dalam perjalanan ini, namun semangat dan keyakinan dalam pelayanan gereja tidak pernah luntur. (bet)

Loading...
LIFESTYLE & KESEHATAN
Sejuta Kasih dalam Puncak HUT Ke-73 IDI di Kupang

SOSBUD
Budaya Sikka Menyatu dalam Pernikahan Charlos & Astrid
