Connect with us

KOTA KUPANG

Maksimalkan PAD, Pemkot Kupang Kenakan Pajak Terhadap Pengusaha Sumur Bor

Published

on

Ilustrasi pengisian air bersih pada pengusaha sumur bor. (net)

KUPANG, PENATIMOR – Kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang untuk menerapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2012 tentang pajak air tanah untuk memaksimalkan pendapatan asli daerah (PAD) Kota Kupang ternyata mendapat respon beragam dari masyarakat khususnya pengusaha sumur bor.

Keberatan para pengusaha sumur bor beralasan, mengingat Perda Nomor 6 Tahun 2012 itu dinilai tidak relevan lagi saat ini.

Pengusaha sumur bor di Kota Kupang keberatan dengan besaran pajak 20 persen dari penghasilan yang diperoleh.

Karena itu, para pengusaha sumur bor mendesak agar Perda nomor 6 Tahun 2012 yang mengatur besaran pajak itu, perlu direvisi, karena dinilai tidak sesuai lagi dengan kebutuhan saat ini.

Pengusaha sumur bor selama ini tidak membayar pajak atas pemanfaatan air tanah. Mereka kemudian dipanggil Komisi II DPRD Kota Kupang, bersama Badan Pendapatan dan Aset Daerah (Bapeda) Kota Kupang, untuk melakukan rapat dengar pendapat (RDP), Rabu (21/9/2022).

Salah satu pengusaha sumur bor, Max Foenai mengaku keberatan dengan besaran pajak penghasilan yang ditetapkan Pemkot Kupang karena pemerintah tidak menetapkan tarif tetap per tangki air.

“Bagaimana mungkin pemerintah menarik pajak sebesar 20 persen dari penghasilan, sementara tidak ada penetapan tarif tetap per tangki air,” katanya.

Selain itu, dia juga keberatan karena pajak penghasilan sebesar 20 persen itu, dihitung berdasarkan penghasilan kotor. Adapun penetapan tarif per tangki selama ini bervariasi. Setiap pengusaha sumur bor, bebas menentukan harga.

Max sudah memulai usaha sumur bor itu sejak tahun 2000 lalu. Per tangki air, ia patok bervariasi yakni Rp 12 ribu untuk 5.000 liter, Rp 15 ribu untuk 6.000 liter dan Rp 20 ribu untuk 8.000 liter. Per hari, ia bisa melayani hingga 15 mobil tangki air. Dengan potensi pendapatan per hari, berkisar antara Rp 150-200 ribu.

Besaran itu, sebut dia, merupakan penghasilan kotor, karena sebagiannya disisikan untuk kebutuhan lain, semisal listrik dan bahan bakar. Belum lagi upah tenaga kerja per hari sebesar Rp 35 ribu. Dengan demikian, penghasilan bersih yang ia peroleh berkisaran Rp50 sampai Rp75 ribu.

“Jadi, kami sangat keberatan jika harus dikenakan pajak sebesar itu, belum lagi harga BBM yang sudah naik,” katanya.

Ia mengaku juga tidak dilibatkan atas penetapan perda tahun 2012 sebesar 20 persen itu. Selain itu, juga tidak ada sosialisasi dari pemerintah. Kendati tidak membayar pajak ke Bapenda, namun tetap menyetor pajak penghasilan itu ke KPP Pratama.

Begitupun dengan penguasaha lainnya, Kornelis Foenai. Selain keberatan dengan tarif, ia juga menilai tidak adil, kalau pajak itu hanya dikenakan ke pengusaha sumur bor dan tidak untuk pemilik air tangki.

Padahal air tangki itu, memperoleh penghasilan lebih banyak. Air yang diambil dari sumur bor, dengan harga Rp12 ribu, namun kemudian menjualnya dengan harga Rp 80 ribu, namun tidak dikenakan pajak.

Ia tidak keberatan atas pajak penghasilan itu, namun meminta kebijaksanaan pemerintah untuk menyesuaikan dengan kebutuhan saat ini, mengingat perda itu dikeluarkan tahun 2012 lalu, dimana pengusaha sumur bor, belum sebanyak sekarang.

Dia juga mengaku baru mengetahui perda tentang pajak itu, sebab tidak ada sosialisasi dari Bapeda.

Kepala Bapeda Kota Kupang, Ama Raja, mengaku tetap mengenakan pajak itu, sembari menenungu pengajuan revisi Perda Nomor 6 Tahun 2012 itu.

“Tapi harus bayar. Pemerintah wajib mendapatkan pajak atas penggunaan air tanah yang dikomersilkan,” katanya.

Wakil Ketua Komisi II DPRD Kota Kupang, Zeyto Ratuarat mengatakan, jika penerapan tarif sebesar 20 persen, memberatkan pengusaha sumur bor, maka perlu direvisi.

Kata Zeyto, Perda Nomor 6 Tahun 2012 itu dikeluarkan berdasarkan kajian kebutuhan saat itu, dimana sumur bor di Kota Kupang, tidak banyak, sehingga potensi pendapatan besar.

“Semakin sedikit pengusaha sumur bor, semakin besar pendapatan mereka. Dan Perda itu, tidak sesuai lagi dengan kebutuhan saat ini, maka perlu dipertimbangkan untuk direvisi,” katanya.

Untuk itu, Zeyto meminta pemerintah segera menyiapkan perubahan perda itu, untuk kemudian diusulkan komisi II ke Bapenperda untuk dibahas.

Selain itu, kata Zeyto, pemerintah juga perlu memasang meteran disetiap sumur bor itu, untuk mengukur beban penggunaan air, mengingat tidak ada tarif tetap yang diberlakukan pemerintah.

Pajak yang dikenakkan nantinya, kata dia, harus berdasarkan beban penggunaan air yang dihitung melalui meteran itu.

“Sehingga adil. Pajak sesuai kebutuhan penggunaan air itu. Tidak boleh pukul rata, semisal penggunaan sumur di hotel, dihitung sama dengan pengusaha sumur bor, karena beban penggunaannya beda,” tandasnya. (wil)

Advertisement


Loading...
error: Content is protected !!