HUKRIM
SALUT! Korban, Pelaku, Tokoh Adat dan Pemerintah Apresiasi Restorative Justice di Kejari TTU
KEFAMENANU, PENATIMOR – Pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) melakukan evaluasi terhadap program Restorative Justice (RJ) yang telah dilaksanakan selama tahun 2021.
Tim yang ditugaskan oleh Kajari TTU Roberth Jimmy Lambila, SH.,MH., telah terjun langsung ke lapangan mendatangi para pihak yang pernah terlibat kasus hukum, dan berhasil diselesaikan melalui instrumen RJ.
Tim Kejari TTU yang dipimpin Kepala Seksi Intelijen S. Hendrik Tiip, SH., juga mewawancarai para pihak terkait.
Kepala Desa Oekopa, Maria Henderina Abuk, kepada tim Kejari TTU, mengatakan, dirinya pernah dilibatkan dalam penyelesaian perkara pidana secara RJ di Kejari TTU.
Maria bahkan mengapresiasi program RJ yang menurutnya sangat bermanfaat dalam penyelesaian perkara pidana sehingga tidak sampai diadili di Pengadilan.
Bahkan menurut Maria, sejak proses RJ pada tahun 2021, sampai dengan saat ini, hubungan sosial antara saksi korban dan pelaku sudah berdamai dan hidup tentram.
“Kemarin ada acara di rumah pak Maksimus (korban), ibu Halmanas (pelaku) juga ada dan tidur di rumah saksi korban, dan tadi dia baru pulang ke rumahnya,” ungkap Maria.
Dia melanjutkan, sejak ada proses RJ yang dilakukan oleh Kejari TTU, hubungan antara saksi korban, pelaku, dan keluarga, serta lingkungan di desa tetap berjalan normal sebagaimana biasanya.
“Kalau bisa agar pelaksanaan RJ ini bisa tetap dipertahankan dan dilanjutkan, karena memiliki manfaat bagi kelangsungan hidup kami masyarakat, dan kalau bisa bermanfaat bagi semua orang juga, jika semua pihak memilih berdamai,” jelas Maria.
“Kalau bisa tokoh adat di desa sering dilibatkan dalam penyelesaian masalah di kampung, dan kalau bisa juga diundang oleh pak jaksa untuk menyelesaikan dengan damai,” lanjut dia.
Maria juga mengapresiasi Kejari TTU, karena proses RJ yang dilakukan pada tahun 2021, sangat bermanfaat dan menjadi pelajaran bagi mereka masyarakat di kampung tersebut, bahwa ternyata setiap masalah tidak harus berakhir di Pengadilan, dan tidak harus orang masuk penjara.
Masih menurut Maria, pada tahun 2021, dirinya selaku Kepala Desa Oekopa, telah ikut terlibat dalam penyelesaian kasus perkelahian antara Halmanas sebagai pelaku dan Maksimus Tsiompah sebagai korban.
“Saat kejadian itu sudah coba dilakukan perdamaian sampai di kantor desa, akan tetapi masing-masing pihak tetap bersikukuh untuk menolak dilakukan penyelesaian secara damai,” ungkap Maria.
“Setelah kasusnya naik sampai di Kejaksaan, semua pihak diundang oleh pak Jaksa dan bapak Kajari, termasuk saya juga diundang untuk menyaksikan proses perdamaian yang dilakukan oleh bapak jaksa di kantor Kejari TTU. Saat itu saya melihat proses itu ada itikad baik dari sisi korban pak Maksimus dengan ibu Halmanas dengan dimediasi oleh pak Kajari dan jaksa-jaksa nya,” lanjut dia.
Maria melanjutkan, saat itu dirinya baru mengetahui kalau ternyata proses penyelesaian perkara oleh Kejari TTU ternyata tidak harus semua masuk penjara, tetapi bisa diselesaikan dengan baik di luar Pengadilan, yang saat itu disampaikan bahwa pimpinan di Kejati dan di Kejagung di Jakarta sudah setuju untuk dilakukan penyelesaian dengan sistem RJ.
“Saat itu saya baru tahu istilah Restorative Justice, setelah dijelaskan oleh bapak Kajari, yaitu penyelesaian perkara dengan jalan damai di luar sidang Pengadilan,” ungkapnya.
Adapula Kornelis Tnesi Monemnasi, salah satu tokoh adat, yang saat diwawancarai oleh tim Kejari TTU, membenarkan, bahwa pada tahun 2021, ada perkelahian antara Maksimus dan sepupunya yaitu Yustina Halmanas yang mana sepupunya memukul Maksimus dengan batu sehingga kepalanya bocor.
“Waktu itu pak Maksimus emosi dan lapor polisi, dan saat di kantor polisi, kami diarahkan untuk selesaikan secara damai, tetapi mereka bersikukuh tidak mau damai dan proses itu. Saya juga dilibatkan untuk selesaikan tetapi tidak berhasil, sehingga tetap lanjut sampai di polisi,” kata Kornelis.
“Kalau tidak salah di tahun 2021 kemarin, saya juga diundang untuk menyaksikan proses penyelesaian damai di kantor Kejari TTU,” sambung dia.
Saat itulah, Kornelis mengaku menyaksikan penyelesaian kasus tersebut, dimana para pihak, yaitu Maksimus dan Yustina Halmanas bersedia dan ikhlas untuk berdamai, dengan disaksikan oleh dirinya selaku tokoh adat, termasuk kepala desa dan kepolisian.
“Akhirnya saksi korban dan pelaku ternyata bisa didamaikan oleh bapak jaksa,” ungkapnya.
Dia juga mengapresiasi Kejari TTU, setelah melihat cara penyelesaian kasus tersebut di kantor Kejari TTU.
“Penyelesaian kasus ini di kantor bapak jaksa hampir sama dengan kami selesaikan di desa, yang melibatkan lembaga adat, tetapi di kantor bapak jaksa bisa diselesaikan secara damai, itu yang saya heran,” ungkapnya.
“Program RJ dari bapak jaksa mereka bagus, dan kami lembaga adat bisa belajar juga, untuk menyelesaikan masalah tanpa harus masuk ke penjara dan masuk sampai ke Pengadilan,” sambung dia.
“Sejak saat itu keadaan di kampung, baik dari korban, pelaku dan masyarakat sudah kembali seperti biasa,” sebut Kornelis lagi.
Maksimus Tsiompah, yang menjadi korban dalam perkara dimaksud, membenarkan dirinya sebagai korban dari perkara penganiayaan dengan pelaku Yustina Hamanas yang adalah sepupunya.
“Benar, saat itu sempat ada penyelesaian di RT, sampai kantor desa, dengan melibatkan keluarga besar saya dan keluarga besar sepupu saya yaitu ibu Halmanas, akan tetapi tidak selesai karena saya bersikukuh untuk menolak berdamai karena harga diri saya,” kata Maksimus.
Kasus itu tidak bisa didamaikan, karena Maksimus tetap ngotot untuk melaporkan ke polisi agar bisa memberikan pelajaran kepada sepupunya itu.
Dan selama proses hukum itu, lanjut Maksimus, hubungannya dengan pelaku tidak saling bersapa dan setiap ada acara keluarga tidak saling memberikan undangan karena masih terbawa emosi.
Setelah perkara itu sampai di Kejari TTU, mereka pun didamaikan oleh Kajari dan tim l, sehingga dia pun ikhlas untuk memaafkan Yustina Halmanas.
“Saat dipertemukan dan didamaikan itu, saya baru bisa berdamai dengan sepupu saya dengan disaksikan ibu Kades, ketua adat, keluarga besar saya dan keluarga besar ibu Halmanas,” terangnya.
“Sampai saat ini kami sudah hidup damai, dan kemarin ada acara di rumah saya, dan sepupu saya ibu Halmanas nginap di rumah saya selama tiga hari, dan pagi tadi ibu Halmanas baru pulang kembali ke rumahnya,” tambahnya.
Maksimus juga mengaku baru mengetahui kalau proses hukum ternyata bisa diselesaikan dengan cara Restorative Justice pada saat Kajari TTU menjelaskan kepadanya, dan ternyata penyelesaiannya tidak harus berakhir di Pengadilan dan di penjara.
“Setelah saya dipertemukan oleh bapak Kajari dan para jaksa, baru saya bisa memaafkan sepupu saya,” ungkapnya.
“Kalau bisa program RJ ini dilanjutkan, karena sangat bermanfaat untuk mempererat hubungan kekeluargaan kami di kampung, dan kalau bisa dipertahankan karena sangat bermanfaat,” imbuhnya.
Terpisah, Yustina Halmanas membenarkan dirinya adalah sepupu dari korban Maksimus.
“Benar, kejadian itu di tahun 2021, karena ada masalah sedikit, saya kemudian ambil batu dan pukul kepalanya pak Maksimus sampai berdarah. Setelah masalah itu, sempat ada penyelesaian di keluarga, RT dan sampai di kantor desa, tetapi tidak bisa diselesaikan karena antara saya dan Maksimus saling emosi dan tidak mau mengalah sehingga pak Maksimus tetap ngotot lapor sampai ke kantor polisi,” urainya.
Waktu proses hukum berjalan, lanjut Yustina, antara dirinya dan Maksimus serta keluarga kedua belah pihak tidak akur dan selalu ada keributan jika ada masalah.
Setelah perkaranya sudah dilimpah ke Kejari TTU, barulah ia disampaikan untuk didamaikan oleh oleh Kajari TTU.
“Sehingga yang diundang ibu Kades dan ketua adat. Keluarga besar juga diundang, dan setelah dapat penjelasan dari bapak Kajari tentang itu RJ, baru kami paham bahwa setiap masalah bisa diselesaikan secara damai dengan melibatkan keluarga, baik antara pelaku dan korban serta aparat pemeritah dan lembaga adat untuk penyelesaian perkara di luar Pengadilan dengan jalan damai, tanpa harus masuk penjara, dan perkara tidak harus sampai di Pengadilan,” ungkap Yustina.
Yustina mengaku sangat bersyukur, karena Kajari TTU bisa mendamaikan dirinya dan Maksimus yang adalah saudara sepupunya.
“Saat itu saya mengucap syukur, akhirnya kami bisa berdamai dengan korban, dan kedua keluarga besar kami,” timpalnya.
Yustina mengapresiasi program RJ di Kejari TTU, karena sangat bermanfaat baginya, karena hubungan keluarga antara dirinya dan Maksimus, serta keluarga besar sudah membaik seperti awal.
“Kemarin ada acara di rumah pak Maksimus, dan saya juga ada di acara itu, bahkan saya masih tidur di rumahnya sampai tiga hari, dan pagi tadi saya baru kembali ke rumah saya,” ungkapnya.
“Kalau bisa pak jaksa, program RJ ini dipertahankan karena sangat baik untuk menjaga hubungan keluarga di antara kami, karena dalam kampung ini kami keluarga besar, sehingga bermanfaat sekali. Terima kasih kepada bapak Kajari TTU yang sudah berhasil damaikan saya dengan pak Maksimus,” tambahnya.
Sementara, Kajari TTU Roberth Jimmy Lambila, SH.,MH., saat diwawancarai awak media ini, mengatakan, berdasarkan hasil analisa fakta di lapangan terhadap program Restorative Justice berdasarkan Peraturan Kejaksaan RI No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dan dalam tataran pelaksanaan yang dilaksanakan oleh Kejari TTU yang dilaksanakan pada tanggal 14 Juli 2021, atas persetujuan Restorative Justice dari Kejaksaan Agung RI tanggal 19 Juli 2021 dalam perkara atas nama Yustina Halmanas alias Yusti.
“Pelaksanaan Restorative Justice di Desa Oekopa, Kecamatan Biboki Tan Pah, Kabupaten TTU yang dilaksanakan Kejari TTU memiliki dampak positif, yaitu hubungan kekeluargaan antara pelaku dan saksi korban telah kembali normal. Terbukti dengan adanya acara keluarga yang dihadiri oleh pelaku Yustina Halmanas atas undangan dari korban Maksimus Tsiompah,” kata Kajari Roberth.
“Pelaku juga menginap di rumah korban selama tiga hari sejak acara keluarga. Untuk itu, pelaksanaan Restorative Justice yang kami laksanakan, berdampak positif juga bagi keluarga besar kedua belah pihak, dan lingkungan di sekitarnya,” imbuhnya.
Kajari TTU melanjutkan, berdasarkan data dan hasil wawancara, pihaknya berkesimpulan, bahwa pelaksanaan Restorative Justice yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, sangat berdampak positif baik kepada pelaku dan korban, maupun kepada lingkungan sekitarnya.
Selain itu, hubungan kekeluargaan baik antara pelaku dan korban, maupun keluarga besar kedua belah pihak, telah pulih dan ikut andil dalam pelaksanaan keamanan dan ketertiban di Desa Oekopa.
Untuk itu, pelaksanaan Restorative Justice yang telah dilaksanakan oleh Kejaksaan di seluruh Indonesia tetap dipertahankan, karena memiliki dampak positif secara langsung terhadap keberlangsungan hubungan kekeluargaan, antara pelaku dan korban maupun keluarga besar kedua belah pihak, dan lingkungan sekitar.
“Pelaksanaan Restorative Justice akan tetap disosialisasikan secara masif melalui media massa dan sarana lainnya, tentang pelaksanaan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif,” pungkasnya. (nus)