Connect with us

HUKRIM

Datangi Polda, Warga Besipae Polisikan Kasat Pol PP NTT

Published

on

Martheda Esterlina Selan Cs membuat laporan polisi di SPKT Mapolda NTT.

Kupang, penatimor.com – Warga Desa Linamnutu, Pubabu Besipae, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) mengadu ke Polda NTT.

Warga Besipae didampingi tim kuasa hukumnya, membuat laporan polisi terkait dugaan tindak pidana pengrusakan, Rabu (19/8/2020) siang.

Laporan polisi dibuat oleh warga bernama Martheda Esterlina Selan yang tertuang dalam LP Nomor: LP/B/332/VIII/RES.1.10/2020/SPKT tanggal 19 Agustus 2020.

Kuasa hukum pelapor, Akhmad Bumi, SH., mengatakan, kasus dugaan pengrusakan yang dilaporkan terhadap Kasat Pol PP Provinsi NTT, Cornelis Wadu.

“Kita minta agar yang bersangkutan diproses sesuai hukum yang berlaku. Laporan ini terkait pembongkaran paksa 29 rumah warga Besipae oleh anggota Pol PP NTT. Pembongkaran itu dilakukan tiga tahap yakni, pada bulan Februari, Maret dan Agustus 2020,” kata Akhmad Bumi, menjawab wartawan.

Selain pengrusakan, menurut Akhmad, barang-barang warga seperti, pakaian dan makanan tidak dikembalikan hingga sekarang.

Bahkan, ijazah anak-anak usia sekolah pun ditahan. Hal itu, menyebabkan sejumlah anak-anak Besipae tak bisa bersekolah.

“Warga sudah tidak miliki rumah, anak-anak tidak bisa ke sekolah. Mereka tidak punya tempat tinggal. Warga dan anak-anak tidur di bawah pohon. Warga kemudian gotong royong bangun rumah darurat untuk tinggal, tetapi juga dibongkar,” katanya.

Pembongkaran rumah itu, menurut dia, Pemprov NTT mengklaim rumah warga itu dibangun di atas lahan yang bersertifikat hak pakai milik Pemprov NTT.

Padahal sesuai aturan, lanjut Akhmad, sebelum melakukan pembongkaran, Pemprov NTT seharusnya menggugat di pengadilan dengan gugatan pengosongan lahan, bukan membongkar rumah warga secara sepihak.

“Ini perbuatan melanggar hukum, karena rumah yang dibongkar, bukan milik pemerintah, tetapi milik warga yang dibangun sendiri,” sebut nya.

Dia katakan, sesuai sejarah, pada tahun 1982, lahan itu dikontrak kerja oleh pemerintah Australia dan tua Adat Besipae. Kontrak kerja itu selama lima tahun.

Setelah habis masa kontrak kerja, pada tahun 1987, pemerintah Australia mengembalikan lahan itu ke tua adat Besipae.

Sejak pengembalian itu, warga Besipae pun membangun rumah. Namun, dalam perjalanan, Pemprov NTT mengeluarkan sertifikat hak pakai di atas lahan seluas 3.700 hektare.

Menurut Akhmad, warga sebenarnya tidak menolak mengosongkan lahan, jika Pemprov NTT mau melakukan perundingan.

“Warga sebenarnya rela keluar dari situ, intinya Pemprov harus mau berunding dan jangan klaim itu lahan milik Pemprov. Harus ada kesepakatan dengan warga, karena lahan itu milik mereka,” imbuhnya

Ironisnya lagi, Pemprov NTT hanya memberi kompensasi empat rumah warga. Padahal, ada 29 rumah warga yang dibongkar.

“Rumah yang dibangun juga kecil dan hanya empat rumah, yang lainnya ditelantarkan,” imbuhnya.

Ia menambahkan, bahwa selain laporan pidana, pihaknya juga akan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri SoE.

Penganiayaan terhadap Warga

Menurut Akhmad, selain rumahnya dibongkar paksa, warga Besipae juga mendapat ancaman dan intimidasi setelah pemerintah menerjunkan aparat keamanan bersenjata laras panjang ke lokasi.

Bahkan, ada dua warga ditangkap aparat tanpa alasan jelas. Dua warga itu yakni, Kornelis Nomleni dan Anton Tanu. Keduanya dituduh menyimpan bahan peledak.

“Anton Tanu ini warga yang buta huruf, dia sudah dibebaskan dan diberi surat pernyataan. Dalam surat pernyataan itu, dengan bahasa Dawan, Anton membantah semua tuduhan itu. Dia juga mengaku dianiaya aparat,” ungkapnya.

Terkait penangkapan itu, pihaknya sudah menyurati Kapolda NTT, Komnas HAM dan Presiden RI.

“Kita sedang mendalami untuk ambil langkah hukum. Dan, kita minta aparat keamanan ditarik dari lokasi, karena akan menciptakan ketakutan dan trauma,” tandasnya.

Bantahan Pemprov NTT

Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah NTT, Zeth Soni Libing, membantah adanya tindakan represif aparat terhadap warga Besipae.

Ia menjelaskan, sebagai ganti rugi, Pemprov sudah membangun rumah warga di atas lahan 800 m2, dengan perincian, satu rumah mendapat 20×40 m2.

Dari 37 KK, kata dia, hanya 11 KK yang merupakan penduduk asli. Sisanya, merupakan warga pendatang.

“Untuk sembilan rumah di kawasan hutan lindung, kita sudah relokasi. Tetapi, ada keberatan dari pemangku adat, Usif Nabuasa, karena mereka itu pendatang. Sehingga kami belum bangun, tetapi untuk kapling sudah disiapkan,” terang Zeth Libing.

Selain membangun rumah pengganti, Pemprov juga menyediakan lahan sisa untuk digarap warga. Bahkan semua fasilitas seperti listrik dan pembuatan sertifikat rumah telah disiapkan pemerintah.

“Silahkan garap untuk hidup, intinya jangan mengklaim hak milik,” tegas Zeth.

Untuk rumah asli mereka lebih kecil, atapnya dari daun dengan ukuran 2×2 ada yang 2×3, sedangkan yang dibangun Pemprov ukurannya 5×6 ada 3×4 sesuai rumah yang kami bongkar.

Ia mengatakan Pemprov menghargai langkah kuasa hukum warga dan siap menghadapi.

“Kalau membatalkan sertifikat pergilah ke pengadilan, karena itu dokumen negara. Pemerintah menghargai jika kuasa hukum menempuh jalur hukum. Intinya, jangan buat setingan seolah pemerntah represif, jangan ribut di jalan,” tegasnya.

“Kita siap hadapi di pengadilan. Mereka tidak memiliki dokumen sedikit pun bahwa lahan itu milik mereka. Usif Nabuasa sebagai pemangku adat sudah serahkan ke Pemprov,” lanjut dia.

Terkait dua warga yang diamankan aparat, menurut dia, dua warga itu ditangkap, karena tertangkap tangan menyimpan bahan peledak.

“Mereka ditangkap, bukan diculik. Mereka simpan bahan peledak dan senjata tumbuk. Kelompok ini selalu menembak sapi warga. Mereka ditakuti karena memiliki senjata api,” tutup Zeth Libing. (wil)

Advertisement


Loading...