UTAMA
Pemprov Jelaskan Alasan Pergeseran Anggaran, DPRD NTT: Ada 3 Kriteria Melawan Hukum

Kupang, Penatimor.com – Persoalan terkait adanya pergeseran anggaran senilai Rp 60 miliar oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT yang dikritisi Fraksi Partai Demokrat DPRD NTT terus bergulir dalam ruang polemik panjang.
Hari ini, Rabu (3/7/2019), bertempat di Ruang Kelimutu, Kantor DPRD NTT, dalam forum Rapat Gabungan Komisi DPRD NTT, Pemerintah Provinsi NTT menjelaskan terkait pergeseran anggaran yang dilakukan secara sepihak atau tanpa melalui proses pembahasan bersama pihak legislatif tersebut.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi NTT, Benediktus Polo Maing menjelaskan, pergeseran volume ruas jalan dari ruas jalan Nggongi- Wahang- Malahar di Kabupaten Sumba Timur ke Bokong- Lelogama di Kabupaten Kupang terjadi karena sejumlah pertimbangan.
“Pergeseran anggaran ini terjadi pada rincian DPA Dinas Pekerjaan umum dan Perumahan Rakyat TA. 2019,” ungkap Benediktus.
Benediktus menyebutkan, pertimbangan pergeseran anggaran tersebut yakni untuk peningkatan akses ke perbatasan negara serta peningkatan aktifitas ekonomi masyarakat dan antar negara ke depan.
Selain itu, lanjut Benediktus, ada pembangunan Observatorium Nasional dan Taman Nasional Langit Gelap oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) di Kabupaten Kupang.
“Secara teknis lebar jalan 4,5 meter kurang memadai sehingga perlu ditingkatkan lebar jalan menjadi 5,5 meter agar berfungsi dan berperan lebih optimal” sebutnya.
Dia menambahkan, penambahan lebar ruas jalan Bokong- Lelogama ini membutuhkan tambahan dana sebesar Rp 26.480.779.000, sehingga perlu dilakukan penyesuaian kembali atas ruas jalan yang ada.
Anggota DPRD NTT, Winston Neil Rondo menyatakan setelah mendengar argumentasi yang disampaikan pemerintah melalui Sekda Provinsi NTT tersebut, terutama pada poin mengenai pembangunan observatorium ternyata bukanlah hal urgen atau sangat mendesak sehingga harus dilakukan pergeseran anggaran.
“Karena supaya diketahui bersama bahwa pembangunan observatorium ini bukan langsung jadi hari ini, tetapi masih butuh waktu yang cukup lama untuk bisa operasional. Bahkan peletakan batu pertama juga belum, bisa saja baru akan dilakukan dua atau tiga tahun mendatang,” katanya.
Winston juga mempertanyakan urgensitas pelebaran ruas jalan Bokong- Lelogama dari 4,5 meter menjadi 5,5 meter, dan mengapa ada kesan dipaksakan pelebaran itu dilakukan pada tahun pertama, padahal jumlah lalu lintas (traffic) arus kendaraan masih sangat rendah. Sebenarnya yang dibutuhkan hanya konektivitas.
“Jalur Bokong- Lelogama ini belum open traffic, itu jalannya sapi di sana. Lalu apa urgensitasnya. Mari kita belajar dari Jalan El Tari dan Frans Seda yang merupakan jalur utama jalan provinsi, itu pun butuh waktu lebih dari 15 tahun baru mengalami pelebaran,” ujar Winston.
Karena itu, menurut Winston, argumentasi pemerintah tersebut hanyalah apologi bahkan menunjukkan sikap arogansi Pemerintah yang seenaknya mengabaikan lembaga DPRD yang dalam hal ini merupakan mitra sejajar.
“Tidak ada cukup alasan teknis untuk menggeser secara sepihak, sementara urgensinya tidak ada. Bahkan, sebagai DPRD kami membaca dan diskusi terkait tata kelola pengelolaan anggaran itu, dan ada 3 kriteria perbuatan melawan hukum,” tegasnya.
Dia menyebutkan, tiga kriteria melawan hukum dalam tata kelola pengelolaan keuangan daerah itu yakni, Pertama, tidak menyelesaikan proyek sampai selesai, contohnya proyek NTT Fair. Kedua, yaitu membatalkan secara sepihak. Ketiga, mengalihkan sebuah proyek atau anggaran proyek yang ditetapkan dalam sebuah kebijakan bersama DPRD.
“Karena perbuatan ini dilakukan oleh penguasa dan penyelenggara pemerintahan maka ini disebut penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power,” tandas Winston. (R2)
