Connect with us

UTAMA

Pemprov Inginkan Enam SMA/SMK Jadi Sekolah Model, DPRD NTT Meradang

Published

on

Foto: PenaTimor

Kupang, Penatimor.com – Sejumlah Anggota DPRD NTT menyoal adanya rumusan atau rekomendasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT untuk menjadikan 6 SMA/SMK di daerah itu sebagai sekolah contoh atau model.

Hal ini terungkap dalam Rapat Badan Anggaran (Banggar) DPRD NTT, Sabtu (20/7/2019) di Ruang Kelimutu Gedung DPRD NTT. Sidang dipimpin Ketua DPRD NTT Anwar Pua Geno dan dihadiri Sekretaris Daerah (Sekda) NTT Benediktus Polo Maing.

Anggota Banggar DPRD NTT, Jimmi Sianto menyatakan, penerapan sekolah favorit, sekolah unggulan atau sekolah model dan sejenisnya sudah tidak diberlakukan lagi, karena secara nasional sudah dihapus sehingga tidak boleh lagi ada sekolah-sekolah seperti itu.

“Dulu itu memang ada sekolah favorit, sekolah unggulan dan kemudian bikin hiruk pikuk dunia pendidikan di NTT dan juga di republik ini. Saya bingung, ini apakah dinas pendidikan sendiri yang gagal paham atau bagaimana, karena ini pernyataan dikeluarkan sendiri oleh kadis pendidikan, bahwa sudah dihapus secara nasional, tapi anehnya kok mau bikin lagi sekolah model,” ungkap Jimmi.

Menurut Jimmi, pemerintah pusat sudah tidak memperbolehkan lagi adanya sekolah model, karena menginginkan adanya pemerataan baik dari aspek kualitas maupun kuantitas. Sehingga dilakukan sistem zonasi untuk penerimaan peserta didik baru (PPDB) secara online maupun manual.

“Semua sekolah itu harus sama, salah satu hal khususnya kita bicara di Kota Kupang, PPDB tahun ini kami kawal betul dengan sistem itu, untuk tidak boleh ada menimbulkan keributan,” kata Jimmi.

Bahkan, lanjut dia, pihaknya selalu menggelar rapat hampir setiap 3 hari sekali bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi NTT agar membuat pemerataan pembangunan pendidikan di daerah ini.

“Tapi sekarang mau bikin baru lagi, justru ini akan bikin kacau, karena nanti menimbulkan persoalan lagi, dimana nantinya semua orang mau masuk di sekolah model itu. Padahal kita sedang berjuang agar ada pemerataan, semua sekolah harus sama, supaya waktu PPDB jangan ada sekolah yang justru terancam ditutup,” tegas Jimmi.

Ketua Komisi V DPRD NTT ini menyebutkan, sebanyak 75 sekolah di daerah itu saat ini terancam ditutup karena kekurangan atau tidak memiliki siswa. Sehingga jika pemerintah tetap ingin membuat sekolah model maka sudah dapat dipastikan bahwa akan ada lebih banyak sekolah lagi yang terancam tutup.

“Saya minta Pak Sekda untuk hal ini ditinjau kembali, dan kita tolak saja. Kita minta semua sekolah yang ada di NTT ini dipercepat proses pembangunannya, seperti ruang kelas, fasilitas penunjangnya dan lainnya. Kalau itu mau tambah berapa banyak anggaran pasti kita dukung yang penting merata,” tandasnya.

Jimmi menambahkan, jika pemerintah beralasan ingin meningkatkan passing grade, maka sejumlah sekolah sudah memenuhi hal dimaksud. “Tinggal bagaimana kita mendorong semua sekolah agar juga bisa meningkatkan passing grade dan tentu standar passing grade itu dengan sendirinya bisa tercapai,” imbuhnya.

Senada disampaikan Winston Neil Rondo, Anggota Banggar DPRD NTT dari Fraksi Partai Demokrat ini sangat menyesalkan rekomendasi sekolah model tersebut. Karena, menurutnya, dalam seluruh diskusi pihaknya bersama Disdikbud Provinsi NTT selama hampir 5 tahun terakhir justru bersepakat menolak yang namanya sekolah model.

“Karena itu merupakan pendekatan lama yang merusak sistem pendidikan kita. Tidak usah pakai rumus SMA 1, 2, 3 di Kota Kupang itu sekolah model, begitu juga SMK 1, 2, 3 itu sekolah model, itu selesai di situ, dia sudah mendapatkan fasilitas berlebihan, mendapatkan training-training terbaik dan lain sebagainya. Jadi kalau mau pendekatan baru nanti dibincangkan di Komisi 5,” tegas Winston.

Anggota Banggar DPRD NTT, Anwar Hajral mengatakan, saat ini NTT memiliki 1 sekolah model terkait kebakatan, yaitu Sekolah Keberbakatan Olahraga Flobamorata Kupang. “Coba mari kita sama-sama tinjau langsung di sana, apa yang terjadi di sana, ada banyak keluhan siswa di sana,” kata Anwar.

“Ini saya kuatir, selain hanya untuk menimbulkan pro kontra di masyarakat kita, ini juga akan menimbulkan semacam konflik sosial di masyarakat, karena saya yakin yang nanti akan masuk di sana juga adalah orang-orang elit saja yang mendapat rekomendasi,” tandas Anwar.

Sementara itu, Sekda NTT Benediktus Polo Maing menjelaskan, selama ini terkait dengan ujian nasional, siswa lulus SMA bukan karena ujian nasional tapi ujian sekolah yang 75 persen adalah muatan lokal dan 25 persen nasional.

“Sedangkan ujian nasional baik yang berbasis komputer maupun kertas dan pensil itu dalam rangka untuk mengevaluasi passing grade (batas nilai minimal) pendidikan secara keseluruhan. Passing grade secara nasional itu poinnya 55, dan untuk NTT, SMK 42 dan SMA 41 poin,” jelasnya.

Karena itu, lanjut Polo Maing, Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat menginginkan agar tahun 2020 nanti, paling tidak ada sekolah yang harus bisa di atas passing grade dan harus segera bergegas menuju ke sana.

“Karena NTT selalu terus berada di bawah passing grade yang 55 ini, sehingga beberapa upaya perlu dilakukan dalam kerangka ini,” ujarnya.

Upaya- upaya yang dilakukan antara lain pada tingkat internal dinas pendidikan, yakni sedang membangun komitmen dari kepala dinas maupun kepala sekolah sampai ke tingkat guru, agar masing-masing berkomitmen menaikkan 5 poin passing grade. “Ini komitmen yang dibangun pada tingkat internal dinas pendidikan,” katanya.

Cara lainnya, papar Polo Maing, adalah Gubernur Viktor Laiskodat meminta agar paling tidak ada 6 sekolah yang perlu diberi perhatian khusus untuk menjadi model agar mendorong passing grade tersebut.

“Jadi passing grade di tahun 2020 harus meningkat minimal pada 6 sekolah yang kita jadikan contoh atau model, untuk dikembangkan lebih lanjut. Ini dilakukan pada 6 sekolah masing-masing 3 SMK dan 3 SMA,” sebutnya.

Menurut Sekda, sekolah model ini mungkin hanya persoalan nama, tetapi lebih penting substansinya, bahwa dalam kerangka ini langkah yang dilakukan adalah mendukung pelaksanaan pelajaran ekstra di luar jam sekolah.

“Jadi setelah pulang sekolah khusus untuk kelas 3 itu dilakukan eksta pelajaran tertentu dalam rangka ini, dan untuk melakukan itu disiapkan baik untuk gurunya maupun terkait pelaksanaan lanjutan di sore hari,” paparnya.

“Persoalannya sekarang apakah dinamakan dengan sekolah model atau apa pun tapi itu soal nama, tetapi substansi yang mau dilakukan barangkali ini yang mau saya jelaskan,” tambah Polo Maing. (ale)

Advertisement


Loading...