Connect with us

UTAMA

WALHI Minta Pemerintah NTT Tinjau Ulang Perda RZWP3K

Published

on

Dok. Ist

Kupang, Penatimor.com – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) meminta Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk meninjau ulang dan merevisi Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K).

Direktur WALHI NTT, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi sampaikan ini dalam keterangan tertulisnya yang diterima media ini, Sabtu (6/4/2019). Hal ini disampaikannya dalam menyikapi Hari Nelayan Nasional 2019.

Menurut Umbu Wulang, dalam penerapannya RZWP3K di NTT seoalah-olah mengarah pada pariwisata, dalam Perda Nomor 04 Tahun 2007 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dimana perda tersebut menutup ruang kedaulatan nelayan, sebab peta pariwisata dan konservasi menutup ruang atau ruang aktivitas nelayan, sehingga nelayan harus menghabiskan biaya dan energi untuk mencari lokasi penagkapan baru yang jauh.

“Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya kasus- kasus nelayan NTT ditangkap diperairan negara lain. Ini menjadi salah satu persoalan nelayan di NTT,” ungkapnya.

Dia menyatakan, masalah penting dalam pemanfaatan dan pengembangan wilayah pesisir di Indonesia adalah ketidakseimbangan pemanfaatan sumber daya tersebut, ditinjau dari aspek penyebarannya dalam tata ruang nasional.

Hal ini, lanjut dia, merupakan akibat dari konsep maupun tahapan perencanaan yang tidak melalui kajian secara tepat dan kurangnya pelibatan banyak pihak, sehingga tidak jarang dijumpai dalam suatu kawasan terdapat lebih dari satu kegiatan pembangunan atau pemanfaatan yang saling bentrok.

“Misalnya pembangunan pelabuhan, tempat wisata, resort, dan hotel yang berdampingan dengan kegiatan konservasi ataupun budidaya perikanan,” katanya.

Umbu Wulang menjelaskan, dalam pasal 11 Rencana Alokasi Ruang WP3K tidak secara implisit memuat ruang khusus nelayan tradisional, secara khusus pada pasal 11 ayat 8 mengenai peta yang tidak dapat pisah dari perda berindikasi pada raung konservasi, pariwisata, dan kawasan startegis.

“Ruang lingkup perda itu lebih menguntungkan atau membuka ruang bagi investasi modal ketimbang ruang publik atau wilayah keola rakyat. Setiap pasalnya juga minim mengatur soal perlindungan nelayan,” paparnya.

Dia menyebutkan, persoalan lain yang terjadi pada nelayan NTT adalah hilangnya ruang atau akses masyarakat nelayan untuk mencari ikan hal ini seiring dengan masifnya industri pariwisata yang kemudian adanya praktek-raktek privatisasi pesisir pantai dan pulau-pulau kecil di NTT.

“Disamping itu persoalan penghancuran terumbu karang menggunakan bom ikan, pencurian ikan, dan masalah sampah di NTT menambah deretan panjang tata kelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT,” sebutnya.

Karena itu, berkenaan dengan Hari Nelayan Nasioanal 2019 ini WALHI NTT menyatakan sikap kepada pemerintah bahwa :

1. Cita-cita poros maritim yang dikumandangkan oleh pemerintahan Jokowi belum terlihat di NTT khsusnya pada perlindungan nelayan tradisional.

2. Pemerintah provinsi belum punya political will untuk melindungi nelayan tradisional di NTT dan ekositem kelautan.

3. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT belum terlindungi secara memadai.

4. Politik pembangunan kita masih bias pengelolaan daratan.

5. Tingkat keterancaman ekosistem dan ruang hidup di pesisir kita makin meningkat dan berpotensi menghilangkan wilayah kelola nelayan dengan hadirnya industri pariwisata dan tambak garam yang tidak ramah lingkungan dan wilayah kelola rakyat.

6. Pemerintah daerah belum mampu memastikan keselamatan kerja para nelayan kita dan belum mampu menghentikan tindakan tindakan pengeboman ikan yang kerap terjadi di Laut NTT.

Oleh karena itu WALHI NTT meminta pemerintah agar:

1. Pemerintah dan DPRD di NTT harus meninjau ulang dan revisi Perda RZWP3K.

2. Mencegah terjadinya privatisasi pesisir dan pulau-pulau kecil di NTT.

3. Tidak mengeluarkan kebijakan yang mengabaikan masyarakat nelayan tradisional di NTT.

4. Menghentikan pembangunan- pembangunan yang mengancam ekosistem pesisir dan laut.

5. Membuka semua kawasan pesisir yang telah diprivatisasi sebagai kawasan publik dan kawasan konservasi.

6. Mendorong usaha- usaha maritim yang berbasis kerakyatan

7. Melindungi keselamatan nelayan tradisional berbasis teknologi dan pelatihan keselamatan kerja.

8. Menghentikan dan menindak perusahan maupun usaha- usaha lain yang mebuang limbah dan sampah di laut.

9. Mendorong perluasan mata pencarian warga berbasis kemaritiman yang ramah lingkungan dan berkeadilan.

10. Meminta masyarakat NTT untuk mengontrol dan mendorong pemerintah daerah dalam menciptakan kebijakan yang pro terhadap perlindungan ekosistem laut dan nelayan tradisional.

(R2)

Advertisement


Loading...