UTAMA
Masyarakat Sumba Timur Tolak Penerbitan Izin HGU PT Muria Sumba Manis
Kupang, Penatimor.com – Masyarakat petani, peternak dan masyarakat adat yang terdampak kegiatan investasi perkebunan tebu di Kabupaten Sumba Timur, yang tergabung dalam sebuah organisasi rakyat bernama SABANA atau Solidaritas Bersama Untuk Tanah Humba, menyatakan menolak proses penerbitan izin Hak Guna Usaha (HGU) PT. Muria Sumba Manis yang berinvestasi di daerah itu.
Koordinator SABANA, Saminrus Ndatang sampaikan ini dalam keterangan tertulisnya yang diterima media ini, Selasa (5/3/2019).
Menurut Saminrus, SABANA saat ini terus menyuarakan keadilan ekologis dan sosial budaya di pulau Sumba. Organisasi rakyat ini dibangun bersama masyarakat sebagai bentuk untuk mengawal jalannya proses pembangunan yang ada di Sumba Timur.
“Kegelisahan masyarakat adat, petani/peternak akan tempat ritual, padang dan lahan menjadi alasan dasar yang kuat masyarakat membentuk sarana gerakan rakyat,” ungkapnya.
Dijelaskan, SABANA saat ini fokus pada perjuangan mempertahankan lingkungan dan melestarikan budaya Sumba dari berbagai ancaman yang datang.
“Hari ini kita ketahui bersama bahwa dengan perkembangan teknolgi yang begitu pesat, masyarakat perlu diproteksi dengan regulasi dan kearifan lokal yang ada,” terangnya.
Dia menyebutkan, pada Senin (4/3), masyarakat yang tergabung dalam SABANA, yang dipimpin oleh Windi Hiya, mendatangi kantor ATR/BPN Kabupaten Sumba Timur untuk menyerahkan surat keberatan rencana penerbitan Hak Guna Usaha atas nama PT. MSM di Kabupaten Sumba Timur dengan luas lahan 5.428, 4394 hektare (Ha) atau 54.284.394 di enam (6) desa yakni Desa Patawang, Wanga, Laemandar, Kabaru, Palanggai, dan Matawai Maringu.
Windi Hiya berasal dari marga/ suku Matuolang, perwakilan dari masyarakat Desa Wanga dan Patawang. Menurut Windi, surat keberatan ini merupakan bagian dari sikap penolakan masyarakat tentang rencana HGU atas lahan yang masih dipersoalkan oleh masyarakat.
“Lewat surat tersebut kami berharap pemerintah benar-benar mempertimbangkan rencana peneribatan HGU di enam desa karena masih menuai konflik baik antara masyarakat, perusahaan dan pemerintah. Oleh karena itu, kami berharap pemerintah mengawal ini dengan serius.,” harapnya.
Hapu Tara Mbiha dari marga/suku Mbarapapa yang berprofesi sebagai petani di Desa Patawang, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur menyatakan, keberatan dan menolak HGU selama 35 tahun yang dimohonkan PT. Muria Sumba Manis ke pihak pemerintah daerah.
“Kami tidak mengetahui adanya rencana proses HGU karena kami tidak dilibatkan. Selain itu, padang dan tempat ritual kami saat ini telah diambil oleh perusahaan, katuoda (tempat ibadah) kami juga dirusak. Jika perusahaan mengambil lahan lewat HGU karena sejak dahulu kami memanfaatkan padang tersebut sebagai tempat hidup kami, kalau kemudian saat ini jadi HGU oleh perusahaan selama puluhan tahun, maka kami tidak dapat lagi mengakses lahan kami,” ujarnya.
Sementara itu, Banda Ria, warga dari marga/suku Lamuru yang berprofesi sebagai petani/peternak di Desa Patawang, Kecamatan Umalulu juga menegaskan hal yang sama terkait rencana perusahaan terkait HGU. Banda Ria keberatan dan menolak rencana perusahaan mengambil lahan dan padang penggembalaan, apa lagi sampai 35 tahun.
“Kami tidak pernah diberikan informasi tentang apa itu HGU dan sejauhmana manfaatnya bagi masyarakat. Kami tidak memahaminya,” katanya.
Sedangkan Umbu Retang Hada Mbiwa, dari marga/suku Lamuru di desa Patawang mengaku, tidak mengetahui adanya rencana perusahaan untuk mengambil lahan dan padang masyarakat adat lewat HGU.
Umbu menolak dengan tegas rencana HGU tersebut karena belum ada kesepahaman dari berbagai suku (kabihu) yang tinggal bersama dalam paraing-paraing (kampung-kampung) adat di wilayah itu.
“Kami juga tidak memahami apa itu HGU dan manfaatnya apa. Bagi kami jika padang dan lahan diambil perusahaan selama puluhan tahun, maka kami tidak bisa lagi menggembalakan ternak kami yang menjadi sumber hidup untuk untuk menyekolahkan anak-anak kami,” tutupnya. (R2)