Connect with us

UTAMA

Gubernur NTT dan Bupati Malaka Dituding Sebagai Antek Tambak Garam

Published

on

Massa aksi Barisan Rakyat Anti Tambak Metiktuik Tasiktuik (Barat-Malaka) saat melakukan aksi di depan kantor DPRD NTT, Kamis (28/3/2019).

Kupang, Penatimor.com – Pemerintahan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat dan Bupati Malaka Stefanus Bria Seran dituding sebagai rezim kapitalistik antek perusahaan tambak garam di daerah itu.

Tudingan ini disampaikan Barisan Rakyat Anti Tambak Metiktuik Tasiktuik (Barat-Malaka) yang terhimpun di dalamnya organisasi kemahasiswaan Permahi, Permalbar, Permawi, Himtab, Lisdem, Garuda Tasi, LMND, Itakanrai dan Pembebasan saat menggelar aksi demonstrasi dan orasi di halaman kantor DPRD NTT, Kamis (28/3/2019).

Koordinator umum aksi, yang juga Ketua Permahi, Norbertus Kehi Bria mengatakan, kapitalisme mencanangkan pembangunan yang mengandalkan kepemilikan atas modal yakni uang/ kapital dan teknologi.

Dia mengatakan, di Kabupaten Malaka, industri tambak garam direncanakan akan mencapai target lahan seluas 5.915 hektare (ha) dan lahan seluas ini berada di 16 desa yang tersebar di 3 kecamatan. PT. Inti Daya Kencana (PT. IDK) bersama Pemkab Malaka telah membebaskan lahan seluas 1.100 ha dan lahan tersebut diberi ganti rugi dengan perhitungan, untuk lahan tidur Rp.1 juta/ ha, sedangkan lahan produktif Rp.3 juta/ ha.

“Kebijakan tambak garam dengan model pembebasan lahan seperti ini, menuai protes dari rakyat sekitar kawasan industri maupun di luar daerah. Alasan-alasan protes adalah tak memberi dampak ekonomis bagi kehidupan rakyat, pengrusakan lingkungan hutan manggrove, budaya lulik (pemali) masyarakat adat dikesampingkan, hilangnya mata pencarian,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, rakyat menilai penyediaan lahan oleh Pemerintah Kabupaten Malaka tidak mengikuti mekanisme yang benar atau cacat secara prosedural. Misalnya, mengenai besaran ganti rugi. Tim penilai dari Badan Pertanahan Nasional menentukan besaran ganti rugi berdasarkan NJOP. Kemudian di sosialisasikan kepada rakyat, dan rakyat memiliki kesempatan untuk merundingkannya secara demokratis.

“Musyawarah mufakat tersebut berupa penolakan atau keberatan atas biaya ganti rugi. Setelah itu perlu ada penandatanganan dokumen-dokumen penyerahan lahan di atas meterai. Dari sini, maka patut diajukan pertanyaan, apakah 1.100 hektar tersebut telah sesuai prosedur, dari mana dasar penilaian besaran ganti rugi, mana dokumen-dokumen tersebut,” ujarnya.

Norbertus Kehi Bria yang biasa disapa Robert mengemukakan, Pemerintah Kabupaten Malaka menyatakan bahwa rakyat juga ikut memiliki saham, kepemilikan saham bersama. Sehingga investasi ini bermanfaat untuk kepentingan rakyat. Tapi, rakyat tidak mengetahui besaran modal yang digunakan, jumlah produksi berapa ton perhari atau pertahun, mekanisme pengupahan, biaya perawatan mesin sampai pada perawatan lingkungan.

“Vabel-variabel ini penting untuk menghitung berapa total produksi, pengeluaran maupun keuntungan perhari ataupun pertahun, karena dari situlah diketahui sistem bagi hasilnya. Kemudian dibuat statment tertulis sebagai fakta hukum. Rakyat menilai kebijakan atau konsepsi kepemilikkan saham bersama adalah kebohongan,” tegasnya.

Pada kesempatan itu, Robert juga menanggapi terkait video pernyataan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat yang beredar di media sosial, yang mana Gubernur mengizinkan pihak PT. IDK untuk terus menjalankan proses yang sudah berjalan dan persyaratan-persyaratan lainnya seperti AMDAL nanti menyusul.

“Hal itu bagi kami adalah sebuah bentuk pembodohan terhadap masyarakat, yang mana sebagai seorang pimpinan wilayah sebagai representasi dari masyarakat, kemudian mengajak masyarakat untuk ramai-ramai melakukan pelanggaran terhadap aturan itu sendiri,” tegasnya.

Dia menyebutkan, Undang-undang (UU) Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, UU Wilayah Pesisir dan juga Peraturan Pemerintah (PP) tidak mengizinkan hal itu dilakukan. Dan secara hukum hal itu telah melanggar aturan.

“Ini yang kami sesalkan dari pernyataan seorang gubernur. Bahwa sudah ada penolakan dari rakyat namun tidak diindahkan oleh pemerintah, di mana keberpihakannya terhadap masyarakat, lingkungan dan wilayah sekitarnya yang terkena dampak,” sebutnya.

Robert menambahkan, ada upaya pembungkaman terhadap persoalan tersebut yang dilakukan Bupati Malaka Stefanus Bria Seran dengan cara melaporkan sejumlah aktifis lingkungan hidup yang terus menyuarakan persoalan tersebut.

“Ini adalah bentuk pembungkaman terhadap demokrasi, karena konstitusi menjamin hal itu. Negara menjamin itu dengan aturan-aturan yang sudah dibuat, tetapi Bupati Malaka melakukan upaya pembungkaman. Ini negara demokrasi, negara hukum, bukan negara kekuasaan, sehingga dengan kekuasaan bupati bebas melakukan apapun. Kekuasaan dibatasi oleh aturan,” tandasnya. (R2)

Advertisement


Loading...
error: Content is protected !!