Connect with us

HUKRIM

Panglima TNI-Kapolri Harus Klarifikasi Klaim Kepemilikan Tanah Korem dan Brimob di Ende

Published

on

Petrus Salestinus memantau lokasi pemasangan papan nama institusi TNI-AD di atas lokasi tanah sengketa yang dikenal sebagai tanah milik warga Suku Paumere di Nangapanda, Kabupaten Ende.

Ende, penatimor.com – Pemasangan papan nama institusi TNI-AD dan Sat Brimob Polda NTT oleh sejumlah oknum di atas lokasi tanah sengketa yang dikenal sebagai tanah milik warga Suku Paumere di Nangapanda, Kabupaten Ende, mengundang tanda tanya publik.

Bahkan diduga merupakan tindakan penyalahgunaan nama institusi negara oleh oknum-oknum spekulan tanah untuk kepentingan kelompok tertentu yang bertujuan merampas tanah warga yang berasal dari hak ulayat Suku Paumere yang secara turun temurun menguasai, mengelola dan menghaki tanah hak ulayat seluas tidak kurang dari 6.000 Ha di Nangapanda hingga saat ini, dengan menggunakan topeng TNI-AD dan Sat Brimob Polda NTT.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Salestinus kepada wartawan di Ende, belum lama ini, mengatakan, memang di atas tanah seluas 6.000 Ha masih terjadi sengketa pemilikan tanah atas sebagian tanah seluas kurang lebih 2.000 Ha antara beberapa kelompok warga Suku Paumere dengan pihak ketiga (Musa Gedu, warga Dusun Ngajo).

“Sengketa mana muncul sejak tahun 1974 hingga saat ini belum terselesaikan, baik secara adat (Hukum Adat) maupun berdasarkan hukum peraturan perundang-undangan lainnya,” ungkap Petrus.

Dijelaskan, pengakuan Korem 161/Wira Sakti, Kodim 1602/Ende, dalam suratnya yang ditujukan kepada Ombudsman Provinsi NTT Nomor B/199/III/2018, Tertanggal 7 Maret 2018, perihal jawaban surat Ombudsman NTT,  menegaskan bahwa TNI-AD sebagai pemilik atas lahan seluas 2.000 Ha berdasarkan permintaan dan penyerahan dari masyarakat dan ahliwaris Musa Gedu kepada TNI melalui Pangdam IX/Udayana tanggal 20 Januari 2008.

TNI-AD dan Brimob Diduga Diperalat

Menurut Petrus Salestinus, klaim TNI-AD dan Sat Brimob Polda NTT bahwa sebagian tanah dengan hak ulayat Suku Paumere sebagai milik TNI-AD dan Sat Brimob Polda NTT di atas lahan sekira 2.000 Ha berdasarkan penyerahan dari ahli waris Alm. Gedu Raja kepada TNI-AD untuk kepentingan “Pembangunan Partahanan Negara RI, sangat mengagetkan semua pihak, karena baik TNI-AD  dan Mabes Polri sebagai pihak yang memerlukan lahan, maupun Pemerintah Daerah Kabupaten Ende sebagai pihak yang berwenang membentuk Panitia Pengadaan Tanah, tidak pernah mengirim Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum untuk melakukan tugas-tugas; Sosialisasi, Penyuluhan, Negosiasi dan lainnya., sebagaimana syarat-syarat itu diatur di dalam Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

“Seandainya klaim TNI-AD dan Sat Brimob Polda NTT bahwa tanah seluas 2.000 Ha adalah milik TNI-AD dan Sat Brimob Polda NTT itu dibuktikan dengan adanya peralihan hak yang jelas (jual-beli, tukar menukar, hibah atau pewarisan), maka mekanisme yang harus dilalui adalah harus berdasarkan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Tentang “Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum”, yaitu perlunya Panitia Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum,” beber dia.

Oleh karena itu, menurut advokat senior Peradi di Jakarta itu, yang perlu dibuktikan adalah apakah pihak TNI-AD dan Sat Brimob Polda NTT sudah menempuh mekanisme Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, ketika TNI dan Polri  hendak membangun sarananya di atas tanah Warga Suku Paumere yang masih bersengketa dengan pihak Musa Gedu Cs.

Minus Panitia Pengadaan Tanah

Masih menurut Petrus, pertanyaan ini menjadi sangat penting dan harus dijawab terlebih dahulu oleh pihak TNI-AD, karena masyarakat pemangku kepentingan di atas tanah Hak Ulayat Suku Paumere di Nangapanda, ketika ditanya apakah pernah ada Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan TNI-AD dan Sat Brimob Polda NTT pernah melakukan sosilisasi, penyuluhan, pendataan terhadap status hukum, batas-batas, apakah di atas tanah dimaksud terdapat hak-hak pihak lain, apakah ada sengketa atau tidak, apakah ada bangunan rumah, gereja atau nasjid dan benda-benda lain yang ada di atasnya yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan, ternyata warga Suku Paumere menyatakan “tidak pernah ada” Panitia Pengadaan Tanah hingga saat ini.

“Padahal menurut Peraturan Presiden RI bahwasanya “Pelepasan atau Penyerahan Hak Atas Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum oleh pemerintah atau Pemerintah Daerah harus dilaksanakan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah,” tandas dia.

Sementara di atas tanah warga yang berasal dari Hak Ulayat Suku Paumere di Nangapanda dimaksud, sejak tahun 1974 hingga sekarang masih terjadi sengketa pemilikan antar warga masyarakat di dalam Suku Paumere dengan pihak Ahliwaris Musa Gedu Cs di Pengadilan Negeri Ende, namun pihak TNI-AD dan Sat Brimob Polda NTT tidak pernah memperlihatkan bukti pemilikannya atau masuk ke dalam sengketa perdata melalui pintu Gugatan Intervensi, sekedar membela kepentingan perdatanya sebagai pihak yang mengklaim sebagai pemilik atas tanah.

Dengan demikian, lanjut Petrus, maka praktik atau pola penguasaan tanah dan upaya pemilikan tanah oleh TNI-AD dan Sat Brimob Polda NTT di atas tanah Hak Ulayat Suku Paumere, sekiranya benar telah dilakukan penyerahan oleh pihak Ahli Waris Musa Gedu pada tanggal 20 Januari 2008, maka penyerahan tanah dengan mekanisme penyerahan secara langsung tanpa melalui mekanisme Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dalam hal ini kepentingan Pertahanan Keamanan, jelas sebagai tindakan perampasan hak milik warga sekaligus merupakan Perbuatan Melanggar Hukum, terlebih-lebih telah dilakukan dengan cara tidak menghormati prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah sesuai dengan perintah Peraturan Presiden. (R4)

Advertisement


Loading...
error: Content is protected !!