PENDIDIKAN & SASTRA
Guru SMA Keluhkan Tidak Adanya Tunjangan Kesra
Kupang, Penatimor.com – Para Guru SMA/ SMK di Nusa Tenggara Timur (NTT) mengeluhkan tidak adanya tunjangan kesejahteraan rakyat (Kesra) setelah pengalihan kewenangan dari kabupaten/ kota ke tingkat provinsi.
Hal ini disampaikan anggota Komisi V DPRD NTT, Winston Neil Rondo kepada wartawan di Kupang, Selasa (9/10/2018), sesaat usai kembali dari bertatap muka dan dialog dengan puluhan guru SMA/ SMK di SMAN 1 Lobalain, Kabupaten Rote Ndao.
Menurut Winston, ketika masih ditangani oleh pemerintah kabupaten/ kota, para guru mendapatkan tunjangan kesra. Namun kini para guru merasa gelisah setelah kurang lebih 1,5 tahun bergabung dengan pemerintah provinsi lantaran regulasi yang mengatur tentang pengalihan kewenangan SMA/SMK dari kabupaten/ kota ke provinsi.
“Ada beberapa keresahan dari guru-guru kita, pertama adalah terkait tunjangan kesra. Mereka benar-benar berharap kesra dapat diprioritaskan dalam penganggaran pemerintah di tahun 2019,” ungkapnya.
Winston mengatakan, para guru merasa adanya ketidakadilan terkait tunjangan kesra bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkup pemerintah provinsi. Pasalnya, pemberian tunjangan dimaksud bagi para guru ditiadakan, sementara bagi ASN lainnya tetap mendapatkan tunjangan tersebut.
“Mereka (para guru) juga memberikan catatan tentang tunjangan-tunjangan lainnya, termasuk gaji guru masih sering terlambat dibayarkan diatas tanggal 10 setiap bulannya,” ujarnya.
Ketua Fraksi Partai Demokrat ini menyatakan, dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, kini sudah diterapkan kurikulum 13 (K13). Meski begitu, para guru masih merasakan adanya keterbatasan untuk mengimplementasikan K13 dengan baik karena minimnya sarana prasarana atau fasilitas pendukung.
“Mereka berharap hal ini menjadi perhatian serius pemerintah, untuk bisa menyediakan fasilitas pendukung seperti infocus dan juga pelatihan-pelatihan untuk penguatan guru K13,” katanya.
Dia menyatakan, buku paket referensi untuk guru K13 yang disiapkan tidak layak atau tidak relevan. Permasalahannya adalah buku tersebut harus dibeli menggunakan dana Bantuan Operasional Siswa (Bos). Sedangkan dalam kurikulum dana Bos diharuskan membeli dari penerbit yang telah ditentukan. Tidak bisa membelinya dari tempat atau penerbit lain.
“Tetapi ternyata bukunya tidak relevan dengan kompetensi dasar yang diberikan oleh pemerintah, jadi kelihatannya ini pesan sponsor. Kuat dugaan, dari pusat sudah ada deal-deal sama perusahaan-perusahaan tertentu,” urainya.
Selain itu, lanjut Winston, masih dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, saat ini sudah diaktifkan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yaitu suatu mekanisme agar guru mata pelajaran mempersiapkan perangkat pembelajaran seperti silabus, bahan ajar maupun penyusunan soal.
“MGMP ini sudah diaktifkan tetapi tidak difasilitasi atau dibiayai, sehingga ini menjadi sesuatu yang sangat vital untuk memastikan standarisasi mutu,” paparnya.
Winston menegaskan, terkait persoalan-persoalan tersebut, pemerintah perlu segera menyikapinya, karena persoalan kesra menjadi keluhan semua guru di NTT. Hal ini harus diprioritaskan dalam penganggaran di tahun 2019 mendatang.
“Ini tidak bisa ditawar lagi, tahun 2019 wajib, kita mesti urus kesejahteraan guru-guru kita, dan ini memang tidak adil kalau tidak memberikan itu sebagai hak mereka,” tegasnya.
Dia menambahkan, persoalan ini sangat mengganggu kinerja para guru. Selain itu, persoalan pendidikan di NTT cukup besar tetapi politik anggaran sangat kecil, karena itu dibutuhkan politik anggaran yang lebih besar untuk membiayai khususnya bidang pendidikan.
“Kita butuh politik anggaran yang berani untuk meningkatkan kesejahteraan guru, mutu guru, berani untuk memperkuat dan merehabilitasi sarana dan prasarana pendidikan yang rusak, dan juga politik anggaran yang berani mengangkat guru honor komite menjadi kontrak provinsi, karena hanya dengan cara itu kita bisa memperkecil persoalan dunia pendidikan dan sekaligus meningkatkan mutunya menjadi lebih baik lagi,” tandasnya. (R2)