UTAMA
Ini Kisah Hidup Gubernur NTT Viktor Laiskodat
Kupang, penatimor.com – Banyak orang menjejal-jejal gelar untuk menyatakan kebesaran, Viktor Laiskodat lebih percaya pada sekolah kehidupan.
“Bagi saya, sekolah yang paling hebat itu sekolah jalanan. Di jalanan kita bisa firm (teguh), komit, dan menjaga nama. Itu antara hidup dan mati. Kadang datang musuh mau bunuh saat itu juga. Kita hadapi semua itu,” kenang Viktor akan kehidupan jalanannya.
Viktor memang menapaki sukses melalui jalan yang tak dilalui banyak orang. Dari seorang petarung jalanan, menjadi buruh, petugas satpam, penagih utang dan segala pekerjaan serabutan, lalu perlahan menanjak menjadi pengusaha dan politisi.
Hidup Viktor memang bagai legenda bagi banyak orang. Namun sama hal sebuah legenda, orang hanya tahu manis di ujungnya. Tak banyak yang tahu bagaimana perjuangan menuju puncak kesuksesan seperti saat ini. Pujian dan fitnah pun mengiring sepanjang jalan namun ia tetap pada jalannya: jalan keteguhan hati dan keberanian.
Dilahirkan dari sebuah keluarga petani miskin di Oenesu, sebuah kampung di Kabupaten Kupang, Viktor memang terlahir menjadi pemenang. Dini hari, 17 Februari 1965 Viktor Bungtilu Laiskodat hadir ke dunia sebagai putra bungsu dari enam bersaudara pasangan Lasarus Laiskodat dan Orpa Kase.
Ia dibesarkan dalam suasana serbakekurangan. “Mama biasa goreng kasi kami biji kapuk untuk kami makan,” kenang Viktor akan masa kecilnya.
Menyiasati kerasnya hidup, saat Viktor duduk di bangku kelas 1 SD, sang ayah memboyong keluarganya pindah ke Pulau Semau. Di pulau inilah Viktor menamatkan pendidikan dasar di SD Negeri Otan dengan brilian.
“Saya lulus ujian nomor dua. Nomor satu anaknya kepala sekolah,” kata Viktor. Ia bahkan masih mengingat temannya yang juara itu yaitu Melki Mola.
Agar bisa melanjutkan sekolah, Viktor kemudian dititipkan pada kakak perempuannya Ance Ataupah Amtiran di Kota Kupang. Tak ada sekolah menengah di Semau saat itu. Ance menikah dengan Hendrik Ataupah, seorang dosen Universitas Nusa Cendana. Merekalah yang membiayai pendidikan Viktor.
Lain Semau, lain Kupang. Suasana di kota kecil ini turut mengubah kehidupan sang anak kampung ini. Sebagai murid SMPN 1 Kupang, ia sering di-bully atau diadu berkelahi. Kupang bukan Pulau Semau, sehingga ia bisa berlari pulang mengadu kepada orangtuanya.
“Saya ingat pertama kali saya berkelahi di Oeba. Di Semau tidak pernah berkelahi. Di Kupang ini tiap hari anak-anak berkelahi. Tiap hari saya dipukuli dan diadu berkelahi. Saya harus melawan,” kenangnya.
“Bagi saya ini alami. Orang yang ditekan terus-menerus hanya ada dua kemungkinan: menjadi pecundang atau melawan dan menang.”
Setamat SMP ia pindah ke rumah seorang kakak perempuannya yang lain di Oepura. Kakak perempuannya itu menikah dengan Nomensen Muni, Lurah Oepura saat itu. Merekalah yang membiayai pendidikan SMA-nya. Namun Kupang bukanlah kota yang besar.
Viktor telah mendapatkan namanya sebagai petarung jalanan di kota karang ini. Kakak-kakaknya kehabisan akal mengatasi kegemarannya itu.
“Lama-lama saya terbiasa. Saya harus survive. Tidak ada yang membela saya di sekolah atau di jalan,” jelas Viktor.
Pendidikan SMA pun dijalani di dua sekolah berbeda. Setelah gagal ujian di SMA Sinar Pancasila tahun 1984, ia pindah ke SMA PGRI. Viktor mengakui ketidakseriusannya menjalani pendidikan.
“Seumur hidup, saya ini sekolah serius hanya dua kali: SD dan S2,” kata Viktor yang baru menyelesaikan pendidikan master pada Fakultas Pasca Sarjana UKSW Salatiga pada Januari lalu.
Selepas SMA, Viktor mengganggur. Tak ada biaya kuliah. Walau sempat bekerja sebentar sebagai tenaga honorer di Kantor BKKBN NTT, ia memilih keluar. Pertarungan jalanan tetap menjadi kebiasaannya.
Enam tahun menjalani hari-hari di jalanan kota karang, Viktor ingin mengadu nasib ke Jakarta. Itu pilihan populer anak-anak Kupang saat itu. Ance mencari jalan agar adiknya bisa ke Jakarta.
“Kalau lu model begini, lu pi Jakarta bisa hidup,” kata Viktor tentang ungkapan kakaknya. Hampir tiap pagi sang kakak ke pelabuhan mencari tahu jika ada kapal yang bertolak ke Jawa.
Niat itu akhirnya terwujud pada 12 Maret 1991. Berbekal Rp 60.000 pinjaman dari seorang kerabat, Viktor meninggalkan Kupang menumpang sebuah kapal hewan. Kapal Pulau Sebuku. Enam hari setelah tidur di atas jerami makanan sapi-sapi, kapal kayu ini berlabuh di Kali Mas, Surabaya.
Keesokan harinya, ia langsung melanjutkan perjalanan dengan bus Damri ke Jakarta. Kemampuan survive sang Viktor tampak mengiring sepanjang jalan. Ia tak perlu membayar ongkos bus.
“Saya bilang saya preman Cililitan, jadi gak berani ditagih ongkos. Tapi saya bantu-bantu nagih, jadi dapat makan dalam perjalanan ke Jakarta,” kenang Viktor.
“Turun di Cililitan jam 11 pagi, 19 Maret 1991,” ingatannya jelas tentang saat pertama menjejakkan kaki di ibukota. Berbekal alamat di sepotong kertas, Viktor sukses mencari alamat seorang keponakannya, Mese Ataupah, yang sedang menempuh pendidikan di Jakarta. Ia memanfaatkan pertolongan seorang anggota polisi yang ia temui di jalan.
“Saya bawa dua botol madu Amfoang. Saya bilang kalau pak ketemu ini alamat, pak dapat satu botol saya dapat satu,” kata Viktor.
Di Jakarta, pertarungan hidup sesungguhnya dimulainya. Pekerjaan pertama di ibukota adalah menjadi satpam di sebuah pabrik rotan. Hanya dua bulan di pabrik itu, ia pindah jadi satpam di grup swalayan Hero. Di Hero pun ia tak betah.
Viktor terus bekerja serabutan untuk menghidupi dirinya. Setelah berganti sejumlah pekerjaan, akhirnya Viktor mulai mengenal dunia penagihan hutang (debt collector). Keberanian dirinya cukup menjadi modal sebagai penagih.
Dengan uang yang didapat dari penagih utang ini, Viktor melanjutkan pendidikan di bidang hukum. Impian masa kecilnya. Ia menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia.
Namun, pekerjaan ini jualah yang membawanya ke balik jeruji besi. Sebuah order penagihan dari seorang yang dihormatinya, membuatnya didakwa melakukan penganiayaan dan penculikan terhadap seorang pengusaha yang menunggak utang ke Bank Panin. Demi orang tersebut, Viktor ‘pasang badan’.
“Ketika itu kami sekitar 20 orang melakukan pemukulan beramai-ramai, namun saya harus memikul tanggung jawab,” ungkap Viktor.
Solidaritas adalah ciri yang melekat pada Viktor. “Dia keras tapi sangat solider. Ia bahkan tak segan mengorbankan diri untuk teman. Dia sangat pemaaf dan cepat melupakan. Orang yang pernah menjadi musuhnya bisa berbalik jadi teman baik. Sulit mencari orang seperti dia,” kata Thalib Makarim, salah seorang sahabat Viktor.
“Dia keras untuk perubahan. Dia keras terhadap anak-anak yang tidak punya semangat juang di Jakarta, misalnya. Untuk dirinya sendiri dia keras. Dia tak akan makan sebelum tuntas kerja. Kita butuh orang seperti ini dan mungkin 50 tahun ke depan belum tentu kita ketemu orang dengan karakter, semangat juang dan kualitas seperti Viktor,” kata Thalib yang mengenal Viktor sejak awal tahun 1990-an.
Di penjara, Viktor menawarkan diri kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan untuk menjadi ketua blok narapidana hukuman mati, Blok 4A. Ketua sel sebelumnya, pak De, terdakwa pembunuh Dietje, mengundurkan diri karena tak mampu mengatasi para terpidana mati.
“Disiplin dan aturan sama sekali absen dari blok ini. Hari pertama, mereka lempar wajah saya dengan tinja manusia. Saya diam saja. Ada orang Jerman yang tiap hari pukul orang. Ada jawara dari Banten yang membantai satu keluarga. Ada guru yang memutilasi istrinya,” tutur Viktor.
Upaya Viktor menerapkan disiplin ditertawakan. Mereka balik menantangnya. “Mereka lihat masa hukuman saya: “tiga tahun kau mau perintah-perintah kami? Ini mati semua di sini, tahu!,” kata Viktor menirukan reaksi para penghuni blok 4A.
Sekali lagi, anak Semau ini membuktikan bahwa hal-hal besar lebih dilakukan melalui keberanian daripada melalui hikmat. “Hari ketika jadi hari penentuan. Mereka atau saya yang mati. Saya mengunci gerbang blok dan malam itu menjadi malam penentuan,” tutur Viktor.
Malam itu, dua orang narapidana yang paling ditakuti, penghuni sel 39 dan 40, dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan terluka. Tiga puluh delapan yang lain tak punya pilihan selain tunduk pada pemimpin baru mereka. Sang Viktor mulai mendapatkan respek sebagai pemimpin di kalangan terpidana mati.
Keesokkan harinya para penghuni Blok 4A menjadi tertib. Teratur.
“Hukumya adalah tiap hari kalian boleh bunuh saya dan saya boleh bunuh kalian. Hukum kita cuma itu,” katanya kepada para penghuni blok.
Blok yang paling ditakuti itu kemudian bukan hanya menjadi blok paling bersih, teratur dan disiplin, tetapi juga paling mandiri. Berbagai jenis penataan dilakukan. Piket pembersihan blok diberlakukan, para narapidana bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan makan mereka, kualitas makanan ditingkatkan dengan hadirnya seorang chef yang juga adalah seorang narapidana.
Tetapi lebih daripada itu, hubungan emosional dengan sesama pesakitan menjadi kuat. “Selama di dalam ada dua orang yang menemui waktu eksekusinya. Beta son bisa tidur [menjelang eksekusi]. Dong nangis peluk beta. Sebagai pemimpin, lepas dari segala kekurangan beta, kotong su jadi satu. Tapi beta sonde bisa lai untuk bela sang dong. Beta hanya bisa bisik ke petugas: kalau bisa, siapapun yang nembak harus tepat ya pak. Dorang diambil jam dua pagi. Beta antar sampai depan. Padahal sonde boleh sebenarnya tapi beta minta beta antar,” kata Viktor mengenang dua temannya itu.
Ikatan emosional itu membuat perpisahan di akhir masa tahanan begitu berat. “Waktu beta keluar dong peluk beta ko semua menangis. Sejujurnya beta menemukan beta pung hidup di penjara. Arah balik itu di penjara,” akunya.
“Satu bulan sebelum keluar, saya tahu Tuhan kasih saya sesuatu,” akunya.
Selepas jeruji besi di tahun 1997 justru memberi kekuatan lebih pada Viktor. Ia melanjutkan kuliah ilmu hukum yang ditinggalkannya. “Saya harus menjadi ‘orang’ agar saya bisa berbuat bagi orang lain,” tekadnya sejak itu. “Saya bilang ke anak-anak yang biasa bersama saya: ‘kalian harus sekolah, karena saya akan menjadi orang lebih hebat dari sekarang. Kita tetap jadi debt collector tapi harus sekolah’,” cerita Viktor.
Penjara justru membuat rasa percaya dirinya semakin kuat. “Kalau saya bisa atur orang yang sudah tidak ada harapan saja akhirnya hidupnya berbalik dan jadi manusiawi, masak kita atur orang yang punya harapan gak bisa? Itu keyakinan saya. Sejak itu saya yakin saya bisa mengurus manusia,” katanya. “Oleh karena itu, kalau orang tanya saya: you pernah pimpin apa? Saya akan jawab: Saya gak tahu kamu pimpin di mana dan sebesar apa, tapi lu belum pernah pimpin orang mati. Saya mempimpin sebuah blok mati! Dan tempat itu lama-lama jadi tempat terbaik sehingga semua orang berebutan mau ke situ.”
Keberuntungan memang selalu selalu berada di pihak mereka yang berani. Perlahan tapi pasti, ia melebarkan sayap jaringan usaha hingga mendapat posisi tinggi di sejumlah perusahaan. Perusahaan-perusahaan dimana ia menjadi tukang tagih, menghitung jasa tagihan Viktor dalam bentuk saham. “Waktu itu lagi trend perusahaan memberi hutang bahkan ada yang sampai triliunan rupiah,” jelas Viktor.
Maka jadilah ia pemegang saham di sejumlah perusahaan. “Ini mungkin untuk pertama kalinya seorang preman melakukan hal ini,” akunya.
Setelah menyelesaikan pendidikan hukum di tahun 2000 ia mendirikan kantor pengacara sendiri. Selain menjadi komisaris di berbagai perusahaan, Viktor juga mendirikan sejumlah yayasan nirlaba, yang semuanya digunakan untuk menyalurkan berkat yang diperolehnya.
Keberhasilan yang diraih dalam tempo yang relatif singkat itu, membawa banyak isu tak sedap, terutama kedekatannya dengan pengusaha Tomy Winata.
“Orang gak percaya maka mereka bangun isu bahwa saya menikahi anak Tomy Winata. Mana ada? Orang kalau kawin sama anak bos atau saudaranya bos, dia malah gak akan laku,” jelas suami dari Julie Sutrisno ini.
Kedekatannya dengan pihak militer pun tak luput dari gunjingan. Tapi Viktor punya penjelasan tersendiri. “Memang hidup saya itu di situ. Kami Artha Graha itu memang dibangun oleh tentara. Basic awal bisnis itu dari tentara. Pak Tomy [Tomy Winata, red] dekat tentara ya otomatis jaringan saya menuju ke situ,” jelasnya.
“Rata-rata properti kami itu dulu dipakai oleh kelompok-kelompok tertentu untuk bisnis perjudian. Itu properti dan bukan kami yang menjalankan. Kenapa itu dilakukan? Karena negara membutuhkan untuk operasional di Aceh. Bukan karena kami yang mau cari uang. Tak satu sen pun masuk ke kantong kami. Di saat Reformasi, tidak seperti di zaman pak Harto dimana ada stand-by anggaran, maka salah satu pilihan pemerintah itu adalah perjudian. Jadi judi dibuka di Jakarta itu bukan untuk kepentingan ekonomi siapa-siapa tapi untuk kepentingan operasional Jakarta untuk Aceh waktu itu,” jelasnya.
Bagi Viktor, hubungannya dengan dua orang penting dalam hidupnya, Tomy Winata dan Surya Paloh, bukanlah hubungan kerja, melainkan hubungan guru dan murid.
“Mereka idola saya. Karakter mereka tegas, jujur, ngomong apa adanya. Dan mereka tidak pernah give up dalam setiap kegagalan hidup. TW pernah bangkrut dua kali tapi bangkit lagi. Surya Paloh berkali-kali gagal. Tapi malah mereka bangkit dan makin bertumbuh,” jelasnya.
Sebagai pemberani, seorang Viktor dapat saja jatuh, tapi ia tak gampang menyerah. Dua kali bangkrut di tahun 2000 dan 2005 namun ia bangkit kembali.
Ia juga tahu benar arti peribahasa ‘siapa yang menyembunyikan masa lalu tak akan mempunyai masa depan.’ Karena itu Viktor tak pernah menyembunyikan cerita hidupnya.
“Itu hidup saya, saya utuh dalam hidup saya dan karakter saya di situ. Karena itu orang pernah minta untuk hilangin data saya di Google dan sebagainya saya gak mau. Itu sejarah hidup saya. Tidak boleh hilang. Hitam putih, itu saya. Anak cucu saya harus ngerti, macam apa kakeknya.”
Keberanian dan keteguhan Viktor diwarisi dari sang ayah. Darah politik mengalir dari sang ayah yang adalah seorang ketua PDI di zaman Orde Baru. “Bapa itu manusia setia terhadap profesinya. Dia itu mau kampanye hanya lima orang, dia pidato mati pung. Saya hidup di situ, dan memahami politik itu di PDI. Dari Parkindo lalu PDI,” kenangnya.
Langkahnya ke kursi gubernur bukanlah langkah yang pertama. Viktor selalu kembali. Ia pernah dicalonkan oleh Partai Golkar menjadi Gubernur NTT periode 2003-2008, namun kalah satu suara dari Piet A. Tallo. “Dulu itu saya gak merasa sebagai sebuah kegagalan. Itu bukan bad loser. Itu good loser. Dan saya melawan seorang yang luar biasa,” akunya.
Pasca kekalahan dari Piet Tallo, ia memutuskan masuk Golkar atas dorongan Ruben Funay dan Ibrahim A. Medah. Ia langsung dicalonkan menjadi anggota DPR RI dan terpilih untuk periode 2004-2009.
Keberanian Viktor memang telah menjadi buah bibir, tapi tak banyak yang tahu soal kedekatan anak Semau ini dengan Sang Khalik. Tak seperti lazimnya kebanyakan pentobat, kedekatan itu bukanlah didapatkannya saat di penjara.
“Dalam satu kesempatan, hidup saya begitu susah setengah mati, itu di awal 1997. Saya baca di Maleakhi 3:10 “bawalah kepadaKu sepersepuluh dari hasil usahamu agar dalam rumahmu tidak berkekurangan dan ujilah Aku Tuhan semesta alam apakah Aku tidak akan membuka tingkap-tingkap di langit agar engkau berkelimpahan. Aku akan mengusir belalang pelahap daripada hidupmu,” katanya dengan fasih tentang ayat kitab suci ini.
“Saya tidak tertarik yang lain,” lanjutnya. “Saya tertarik dengan ‘ujilah Aku’ itu, maka sejak itu saya dengan DIA baku uji sampai hari ini. Dan sejak itu saya tahu bahwa saya bertumbuh terus jatuh, bertumbuh jatuh. Jatuh itu cuma latihan agar bisa naik lebih tinggi. Dan sejak itu kedekatan hubungan saya dengan DIA luar biasa,” jelas Viktor.
Viktor mendirikan persekutuan doa yang menjadi sarana penyejuk rohani ribuan anak asuhannya yang sehari-hari bergelut dengan kerasnya Jakarta. Hingga hari ini semua kegiatan sosial dan kerohaniannya terus bertumbuh mengiringi kesuksesan hidupnya.
Sebagaimana Josef Nae Soi mengatakan, Viktor telah menemukan kehidupannya. “Hidup dia bergejolak tapi sekarang dia menemukan kehidupan, bukan hidup saja. Banyak orang yang tidak pernah menemukan kehidupan,” kata mantan Staf khusus Menteri Hukum dan Perundang-undangan ini.
“Sekarang dia komplit. Diskusi apa saja pasti dia bisa ladeni, dan dia apa adanya, tidak menutup-nutupi. Selalu ada pemikiran yang original, itulah orang yang menemukan kehidupan. Hidup biasa, seringkali hanya contek sana contek sini, tapi orang yang menemukan kehidupan pasti original. Kalau orang lain tidak mungkin saya bersedia jadi wakil,” kata Nae Soi.
Karakter Viktor memang tergambar dalam dua tokoh politik yang ia kagumi: Nelson Mandela dan Vladimir Putin. Baginya, Mandela adalah contoh sempurna pengampunan yang membawa kebaikan dan Putin adalah contoh sempurna dari kemampuan membangkitkan kembali pride (kebanggaan) sebuah bangsa yang terpuruk.
“Putin punya kharakter yang kuat dan membangun pride di saat orang menganggap remeh Rusia. Saat Uni Soviet pecah, Cina dan Amerika Serikat memandang sebelah mata Rusia. Tapi sekarang Rusia ditakuti oleh Cina maupun Amerika.”
“Mandela mengalami penderitaan dan tidak membuat penderitaan itu menjadi alasan untuk membalas. Dua puluh tujuh tahun dalam penjara, tapi dia tidak membalas. Itu luar biasa. Musuhnya diampuni dan Aftika Selatan terbang.”
“Dan saya suka dia punya quote: ‘I’m the master of my fate, I’m the captain of my soul’.” [saya adalah tuan dari nasib saya, saya adalah kapten dari jiwa saya, red]
Bagi Viktor, tugas seorang gubernur NTT adalah bagaimana membuat NTT maju secara ekonomi dan pada saat yang sama membangkitkan harga diri orang NTT. “Kemampuan seorang kepala daerah, khususnya gubernur NTT bukan hanya me-manage dan mengarahkan seluruh potensi daerah tapi dia juga harus mempunyai jaringan nasional maupun internasional yang luas,” jelas Viktor.
“Itu akan membuat dia cepat bergerak menyelesaikan urusan-urusan di daerah. Karena khusus untuk NTT kita hidup 95 persen itu dari pusat. Jadi kalau kita bisa menyelesaikan urusan internal kita maka akan mengurangi beban pusat.”
Bagi Viktor, kepemimpinan itu bukan soal jabatan atau posisi. Kriteria pertama seorang pemimpin adalah legitimasi atau pengakuan.
“Pemimpin yang benar adalah pemimpin yang legitimate yaitu pemimpin yang diakui entah ada atau tidak ada jabatan, selalu melayani,” jelasnya. “Yang sering terjadi, ada jabatan tapi tidak legitimate. Bahaya ini. Banyak orang dipilih karena janji mau bikin ini dan itu”. “Jangan hanya menunjukkan peduli sama orang kalau lagi maju. Harus asli, dari dulu sudah seperti itu. Kalau lihat orang susah, ya urus. Bukan kalau mau maju aja,” jelasnya.
Kriteria kedua dari seorang pemimpin, menurut Viktor, adalah visi. “Visi saya adalah bagaimana membangkitkan masyarakat NTT dari tidur panjang. Delapan puluh persen orang NTT begitu selesai sekolah mau jadi PNS. Karena itu banyak sarjana yang nganggur sepanjang masa. Atau menjadi tenaga honorer sepanjang hidup. Ini yang kita mau ajak bangkit. Bangkit dari masalah yang membuat dia tidak pernah lihat dunia lain selain PNS.”
“Tidak baik orang cuma punya satu pilihan. Kita musti punya beberapa pilihan sehingga kemampuan kita diuji. Mengapa pilihan itu tidak ada? Karena pemimpin tak mampu menciptakan lapangan pekerjaan.”
Karena itu, menurutnya, lapangan pekerjaan harus dibuka atas dasar kekuatan sumber daya daerah. Salah satu sumber daya daerah yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang besar adalah industri garam. Industri ini harus dikerjakan secara massive untuk memenuhi 4,2 juta metrik ton yang diimpor oleh Indonesia. “Kita harus kerja 1,5 juta metrik ton baru bisa. Kalau kita bisa mampu suplai itu, maka sedikit-sedikitnya 15 ribu tenaga kerja terserap.”
Menurut Viktor, garam industri menjadi pilihan yang tepat bagi NTT karena pasokan garam dalam negeri dikuasai oleh mafia.
“Karena industri garam besar sudah dikerjakan di Tiongkok, India, Australia, mereka tinggal suplai dan pemerintah bayar. Itu dikendalikan oleh mafia,” jelasnya.
Selain bicara soal industri garam, manajemen pariwisata yang modern dan profesional, ia juga bicara soal sejumlah kesempatan di depan mata yang harus ditangkap NTT antara lain bagaimana menangkap peluang menyediakan logistik blok Masela yang bernilai satu miliar US Dollar serta rencana pemindahan Observatorium Lembang yang bernilai Rp 40 triliun ke wilayah sekitar gunung Timau.
“Ini kerja untuk masa depan. Sebuah masa depan itu harus kita rebut. Tidak bisa duduk dan melihat masa depan saja, harus direbut! Jadi langkah pertama kita rebut dulu kekuasaan. Kekuasaan ini bukan kita pakai untuk senang. Kita butuh pemimpin dengan leadership yang kuat. Percuma jadi pemimpin kalau semuanya cuma janji. Analoginya, yang kita siapkan adalah sebuah kapal induk NTT. Karena kapal induk maka nahkodanya harus berani dan berdiri tegak di sana punya kemampuan.”
Bagi Viktor, kepulangannya ke NTT adalah sebuah bakti.
“Saya baktikan apa yang telah saya dapatkan selama ini ke NTT. Fokusnya kepada bagaimana melayani. Kalau saya jadi gubernur maka saya akan menggunakan seluruh potensi dalam diri saya agar semua itu bisa membawa NTT sejahtera.”
Bakti itu ia jalani dengan sadar dan siap akan kosekwensinya. “Saya datang mencoba mengambil kekuasaan dan me-manage kekuasaan itu menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat NTT. Tapi kalau rakyat dan Tuhan berkehendak lain, ya tidak ada masalah dan saya tetap berkarya untuk NTT. Minimal [upaya saya] sudah termaafkan. Saya telah berusaha untuk meyakinkan bahwa inilah jalan keluar kita,” katanya enteng. (Matheos Viktor Messakh) Dikutip dari seputarntt.com dengan judul: Sang Petarung Itu Bernama Viktor Bungtilu Laiskodat