Connect with us

POLKAM

Angka Pernikahan di Usia Anak Masih Tinggi

Published

on

Erni Usboko, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi NTT.

Kupang, penatimor.com – Data statistik lima tahun sebelumnya memperlihatkan, 20,5 persen anak sekolah atau pelajar di Nusa Tenggara Timur (NTT) menikah di usia sekolah akibat kurangnya pemahaman tentang nikah di usia anak, seolah- olah sudah menjadi tradisi, ekonomi, dan kecelakaan atau pergaulan bebas.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2PA) NTT, Erni Usboko sampaikan ini kepada wartawan di Kupang, Rabu (9/5/2018).

Erni menjelaskan, Unicef mencatat, lebih dari 700 juta perempuan di dunia menikah ketika belum berusia 18 tahun. Sedangkan di Indonesia, tercatat setiap tahun sekitar 340.000 anak perempuan menikah di bawah 18 tahun, yakni berkisar antara 15- 18 tahun. Dari jumlah tersebut, 27,11 persen terjadi di perdesaan dan 17,09 persen terjadi di perkotaan.

“Kita sangat sedih dengan kasus pernikahan anak ini, karena dikategorikan sebagai bentuk perampasan terhadap hak- hak anak. Mari kita kampanyekan untuk menyatakan stop perkawinan anak,” ajak Erni.

Dia menjelaskan, UU 23/2014 dan UU 35/2017 secara tegas menyatakan, anak adalah anugerah pemberian Tuhan. Anak adalah mereka yang belum berusia 18 tahun. Karena itu, seorang anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh kembang, berpartisipasi, dan mendapat perlindungan terhadap berbagai aksi kekerasan fisik, psikis, dan seksual.

Dimana kekerasan fisik yang dialami seorang anak mengakibatkan anak tidak merasa nyaman dan minder dengan teman- teman. Sedangkan aspek psikis mengakibatkan seorang anak terganggu ketenteraman. Sementara kekerasan seksual mematikan spirit hidup dalam menata masa depannya.

“Tiga kekerasan yang dialami anak yakni fisik, psikis, dan seksual harus disikapi secara serius oleh semua pihak agar mereka terbebas dari bentuk kekerasan dimaksud,” ujar Erni.

Pada kesempatan itu dia menyatakan, pernikahan anak dikategorikan dalam lingkaran kekerasan terhadap anak. Karena seorang yang masih berusia anak harus melahirkan seorang anak. Selain itu, dari aspek kesehatan pun, belum siap untuk mengandung dan melahirkan anak. Dampak buruknya, anak dimaksud kemungkinan mengalami kematian.

Aspek lainnya, lanjut Erni, kemandirian ekonomi pun mengalami kesulitan yang cukup besar. Karena belum memiliki kemampuan untuk mencari nafkah. Akibatnya, kemiskinan, perdagangan orang, dan seks bebas bisa saja terjadi.

“Sikap yang harus diambil agar pernikahan anak bisa dicegah adalah melakukan kontrol terhadap anak, menyiapkan ruang diskusi yang melibatkan semua pihak, dan mengembangkan pengetahuan kepada anak tentang resiko pergaulan bebas dan nikah anak,” ujarnya. (R2)

Advertisement


Loading...