OPINI
Catatan dalam Pengisian Penjabat Kepala Daerah Menyongsong Pemilihan Serentak Kepala Daerah
Oleh:
Screning Yosmar Dano
(Kepala Sekretariat Bawaslu D I Yogyakarta)
I. Munculnya Pengisian Penjabat Kepala Daerah
Praktik pelaksanaan sistem demokrasi di Indonesia sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 – selanjutnya ditulis Undang-Undang Dasar NRI 1945, dilaksanakan berdasarkan Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Pengejawantahan Pasal dimaksud itulah yang kemudian salah satunya diwujudkan dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Gubernur, Bupati dan Walikota selanjutnya disebut dengan Pemilihan Kepala Daerah.
Pemilihan kepala daerah secara eksplisit termaktub dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar NRI 1945 ayat (4) “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”, yang mana mengartikan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat. Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah yang dilaksanakan berdasarkan kedaulatan rakyat dan demokratis ini menjadi hal ideal yang diinginkan rakyat, dengan ini rakyat mempunyai sebuah wadah aspirasi dalam melaksanakan pemerintahan.
Harapannya, dengan melaksanakan kedaulatan rakyat ini kepala daerah mampu mewujudkan aspirasi rakyat yang telah memilihnya.
Kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan daerah otonom, telah ditetapkan masa jabatan selama 5 (lima) tahun, hal ini sejalan dengan pelaksanaan Pemilihan yang ditetapkan secara serentak setiap 5 (lima) tahun sekali. Untuk itu, pada tahun 2015 disusunlah skema pelaksanaan pemilihan kepala daerah untuk mewujudkan pelaksanaan pemilihan serentak nasional pada November 2024.
Namun, skema pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang dimulai sejak 2015, 2017, 2018, 2020 dan pada tahun 2024 mendatang justru menimbulkan polemik adanya kekosongan jabatan. Hasil Pemilihan yang dilakasanakan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022, sementara hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.
Hasil Pemilihan tersebutlah yang kemudian diisi penjabat kepala daerah sembari menunggu Pemilihan Serentak tahun 2024. Untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut, Undang Undang nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang yang diubah beberapa kali sampai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 mengatur agar pengisian jabatan Gubernur diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara, untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pertanyaan fundamental terhadap fenomena diatas adalah, apakah pengisian kekosongan penjabat kepala daerah tersebut dapat dianggap merepresentasikan atau mewakili aspirasi rakyat sebagaimana Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar NRI 1945 sebagaimana telah dijabarkan diatas? Jika, pengisian penjabat kepala daerah sesuai dengan perundang-undangan, maka perundang-undangan manakah yang digunakan? Jika saudara menemukan jawabannya apakah hal tersebut relevan terhadap amanat Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar NRI 1945?
II. Pengisian Penjabat Kepala Daerah berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
Ada konektivitas antara Undang Undang nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang yang diubah beberapa kali sampai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 yang disebut juga Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dengan Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah yang diubah beberapa kali sampai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 yang disebut juga Undang-Undang Pemerintahan Daerah, salah satunya adalah mengenai mekanisme pengisian Penjabat Kepala Daerah.
Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang mengatur dalam hal mengangkat penjabat Kepala Daerah sampai dengan terpilihnya Kepala Daerah dan Wakilnya yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya untuk penjabat Gubernur dan jabatan pimpinan tinggi pratama untuk jabatan Bupati/Walikota.
Sementara Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengatur mengenai Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah meskipun bukan untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak sebagaimana dimaksud dalam UU Pemilihan Kepala Daerah.
Sehingga menjadi logis jika Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur di dalam peraturan pemerintah, sebagaimana diatur di dalam Pasal 80 ayat (4) Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Peraturan pemerintah yang digunakan dalam Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah telah beberapa kali mengalami perubahan, dimulai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2005 hingga perubahan terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2012.
Hal ini menunjukkan bahwa Peraturan Pemerintah tersebut sesungguhnya belum disinkronkan dengan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, karena UU tersebut lahir pertama kali tahun 2014.
Seharusnya ketika Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah lahir, pemerintah juga perlu menyiapkan peraturan pemerintah untuk menjawab persoalan mekanisme pengisian Penjabat Kepala Daerah akibat hadirnya Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.
Saat ini mekanisme pengisian untuk Penjabat Gubernur sementara diusulkan oleh Menteri Dalam Negeri kepada Presiden terhadap calon penjabat Gubernur yang berasal dari ASN dengan Jabatan Pimpinan Tinggi Madya , sedangkan penjabat bupati/wali kota diusulkan oleh Gubernur kepada Menteri Dalam Negeri. Hal ini terlaksana pada pengangkatan sejumlah 101 penjabat kepala daerah pada tahun 2022, dan sejumlah 170 penjabat kepala daerah yang rencananya akan diangkat pada tahun 2023.
Mekanisme tersebut diatas diperkuat dengan khususnya untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota hanya disyaratkan sebagai berikut :
a. Menduduki jabatan pimpinan tinggi pratama, yang berasal dari lingkungan Pemerintahan minimal satu tingkat di atasnya;
b. Memiliki pengalaman dalam bidang pemerintahan;
c. Mampu menjaga netralitas ASN di dalam penyelenggaraan Pilkada;
d. Melampirkan SK Pangkat dan SK Jabatan terakhir serta Biodata Calon Penjabat Bupati/Walikota.
Dalam proses yang disyaratkan dalam Surat Edaran tersebut diatas, tentu berbeda dengan apa yang termaktub dalam konstitusi kita. Di dalam konstitusi dimana untuk menjadi Kepala Daerah memerlukan proses yang panjang, dimana rakyat dapat mengawal secara langsung pada setiap tahapan, mulai dari pendaftaran bakal calon, uji publik, pengumuman pendaftaran calon, pendaftaran calon, penelitian persyaratan calon, penetapan calon, kampanye, pelaksanaan pemungutan suara, penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara, penetapan calon terpilih, hingga pengusulan pengesahan pengangkatan calon kepala daerah terpilih.
Hal ini sangat berbeda dengan proses Pengisian Penjabat Kepala Daerah yang kosong mana telah disebutkan sebelumnya yang akan diisi oleh ASN (Aparatur Sipil Negara) dengan yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya untuk penjabat Gubernur dan jabatan pimpinan tinggi pratama untuk jabatan Bupati/Walikota.
Hal inilah yang menjadi catatan bahwa pelaksanaan demokrasi di Indonesia masih jauh dengan pengembangan demokrasi dalam menentukan pemimpin di daerah untuk mencapai kedaulatan rakyat. Hal ini menjadi penting agar tujuan ideal Pemilihan Kepala Daerah secara langsung untuk memilih kepala daerah yang terpercaya, memiliki kemampuan, kepribadian dan moral yang baik, dengan terpilihnya orang-orang yang berkenan di hati rakyat, dikenal dan mengenal daerah, serta memiliki ikatan emosional kuat terhadap rakyat daerah ini dapat terwujud.
Selain itu, hal itu untuk menghindari adanya politisasi terhadap ASN yang berpotensi ditunjuk oleh Gubernur atau Menteri sebagai Penjabat Kepala Daerah. Seyogyanya, posisi ASN dalam pengisian jabatan kosong perlu diatur bagaimana proses administrasi dan proses seleksinya dengan tidak mengabaikan aspek demokrasi dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Kewenangan yang cukup besar dimiliki Penjabat Kepala Daerah juga perlu di lakukan evaluasi dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sekali lagi, hal itu untuk mencapai kedaulatan rakyat secara langsung dan menjaga hubungan emosional antara masyarakat dengan kepala daerah.
III. Catatan untuk Perbaikan Kedepan
Tidak sedikit pihak yang mengkritisi terkait Pengisian Penjabat Kepala Daerah yang dilaksanakan, MK juga telah memberikan panduan kepada pemerintah terkait pengisian penjabat kepala daerah sendiri, dalam tulisan Seksi Informasi Hukum Ditama Binbangkum telah menjelaskan bahwa telah dimintanya Kemendagri mempersiapkan peraturan teknis. Masukan MK tersebut menjadi dorongan untuk pemerintah agar segera menyusun peraturan pemerintah (PP).
Dengan adanya Peraturan Pemerintah sebagai bentuk aturan yang menjalankan Undang-undang, dipandang akan lebih baik apabila mekanisme prosedur dan tatacara diatur didalamnya termasuk pelibatan publik pada tahapan tertentu dengan mekanisme tim seleksi disebut dengan timsel.
Mekanisme timsel sendiri dipandang sebagai salah satu cara paling efektif untuk membangun kembali makna Demokrasi dalam pengangkatan penjabat kepala daerah dengan melibatkan unsur pemerintah pusat, tokoh masyarakat, dan akademisi sebagai tim seleksi.
Penjaringan melalui tim seleksi dipandang sebagai jalan melahirkan kepala daerah secara demokratis yang dapat menjawab harapan masyarakat karena untuk merefleksikan dimensi terpenting pada pilkada langsung yaitu terletak pada kompetisi yang ketat karena filternya lebih banyak dan beragam. Filter dalam pilkada langsung yaitu warga dengan segala perspektif dan kepentingannya, sedangkan dalam mekanisme tim seleksi diisi dengan keterlibatan pemerintah pusat, tokoh masyarakat, dan akademisi itu sendiri.
Dengan diletakannya kedaulatan rakyat dalam pemilihan kepada daerah adalah bentuk penghargaan dan penilaian terhadap hak rakyat untuk memilih dan menentukan arah kehidupan kenegaraan yang menjamin kesejahteraan bersama. Sehingga perlunya mengingatkan kembali konsep demokrasi pada pengisian penjabat kepala daerah merupakan hal yang penting untuk dilakukan, baik dari sisi regulasi maupun keterlibatan publik di dalamnya.
Mekanisme Sistem rekuitmen melalui tim seleksi dari awal penerapannya hingga kini sudah mulai menunjukkan hasil kualitas pejabat publik yang memiliki jiwa kepemimpinan, berintegritas, independen dan imparsial serta profesional dalam bekerja. Misalnya dalam perekrutan Kepala/Ketua Lembaga Tinggi negara, Lembaga pemerintah dan Lembaga non struktural sistem rekrutmen ini sudah cukup ideal dengan beberapa keunggulan dari sistem ini adalah adanya keterlibatan publik dalam awal sampai dengan seleai proses rekrutmen, sehingga hasil rekrutmen dapat dipertanggungjawabkan dengan akuntabilitas yang terukur.
Keterlibatan publik dalam proses tersebut dalam sebagai Tim seleksi, publik dapat menjaring secara objektif individu individu yang ada dalam suatu daerah yang memenuhi kualfikasi sebagai pemimpin yang berintegritas dan mampu mengelola jalannya suatu pemerintahan berdasarkan kebutuhan program kerja dari rakyat sehingga esensi dari demokrasi yaitu partisipasi publik dalam menentukan pejabat publik karena sesungguhnya menurut JJ rosseau demokrasi tanpa partisipasi langsung oleh rakyat merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokrasi itu sendiri oleh karena itu harapannya dengan adanya tim seleksi yang terdiri dari unsur lapisan masyarakat yang ada dapat bekerja secara terbuka independent dan demokratis kemudian terminimalisirnya peran oligarki dalam menentukan pejabat publik.
Dalam penjaringan Penjabat Kepala Daerah yang proses penjaringannya melalui mekanisme pengusulan terhadap ASN untuk Penjabat Gubernur berasal dari ASN dengan Jabatan Pimpinan Tinggi Madya sementara untuk Bupati/Walikota dengan pimpinan tinggi pratama, jika dalam proses penjaringan ASN tersebut sebagai Penjabat Kepala daerah dilakukan dengan mekanisme Tim Seleksi diharapkan terpilihnya Penjabat yang netral dan tidak memihak salah satu kepentingan politik baik dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pelaksanaan proses Pemilihan Umum.
Jika ditelisik terhadap beberapa fenomena dalam pengisian Penjabat Kepala daerah pada saat penentuan Penjabat Kepala daerah Masa jabatan 2022-2024 terdapat beberapa dinamika yang ada misalnya tidak selarasnya sikap Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah hal itu terjadi di Sulawesi Tenggara hal tersebut bermula dari Gubernur Sulawesi Tenggara menolak melantik Pj. Bupati pilihan Kementerian dalam Negeri sebab PJ Bupati yang ada berdasarkan pilihan Kemendagri tidak berdasarkan usulan yang diberikan daerah tersebut melalui Gubernur hal tersebut adalah seharusnya tidak terjadi mengingat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus satu kesatuan.
Ada juga fenomena tentang perubahan dukungan pemerintah terhadap Penyelenggaraan Pemilu hal ini terjadi di beberapa daerah di wilayah Kabupaten/Kota di aceh pasca dilantiknya PJ Bupati/Walikota di wilayah Provinsi aceh pemerintah daerah tersebut disana tidak memberi bantuan aparatur untuk lembaga Penyelenggara Pemilu dalam Pembentukan badan AdHoc, padahal itu sudah menjadi amanah undang-undang Pemilu hal tersebut seharusnya tidak boleh terjadi.
Jika berbicara tentang Penjabat kepala daerah yang bebas KKN, Tim Seleksi dapat Bersama sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dan PPATK untuk melakukan penjaringan dari laporan harta kekaayan apakah lazim harta yang dipunyai ASN tersebut selama dia bekerja dan menjabat, sehingga dalam proses pelaksanaan penjaringan tersebut diharapkan dengan mekanisme keterlibatan Tim Seleksi dapat menghasilkan Penjabat Kepala daerah dari ASN yang Netral, bebas KKN, mempunyai track record yang jelas, dapat menjalankan program-program strategis di pemerintahan Serta Tindakan yang sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan.
Terakhir pasca dilantiknya seorang Penjabat dan sudah melaksanakan pekerjaan Penjabat Kepala Daerah harus taat dan tertib dalam Penyampaian laporan kepada Menteri dalam Negeri Setiap bulannya untuk dilakukan evaluasi terhadap aktifitas Pelaksanaan tugas sebagai Penjabat Kepala Daerah yang dilakukan secara periodik, sehingga diperlukan kecermatan yang extra oleh Kemendagri untuk melihat secara secara objektif hasil tugas yang dilaksanakan oleh Penjabat. (*)