UTAMA
Fakta Perang Tanding di Adonara yang Tewaskan Enam Warga
Adonara, penatimor.com – Sengketa tanah di kebun Wulen Wata, Pantai Bani, Desa Baobage, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), berbuntut panjang.
Saling klaim lahan itu hingga terjadi perang suku antara Suku Kwaelaga dan suku Lamatokan terjadi pada Kamis (5/3/2020) sekitar pukul 10.45 wita.
Kejadian ini mengakibatkan enam orang meninggal dunia masing-masing dua orang dari suku Lamatokan dan empat orang dari suku Kwaelaga.
Korban dari suku Lamatokan diketahui berasal dari Desa Tobitika, Kecamatan Witihama dan satunya dari Desa Sandosi. Sementara korban dari Suku Kwaelaga semuanya berasal dari Desa Sandosi, Kecamatan Witihama.
Korban meninggal dunia yakni Wilem Kewasa Ola (80) dari Desa Tobitika dan Yosep Helu Wua (80), warga Desa Sandosi Kecamatan Witihama. Keduanya berasal dari suku Lamatokan.
Sementara empat orang korban dari suku Kwaelaga yakni Moses Kopong Keda (80), Jak Masan Sanga (70), Yosep Ola Tokan (56) dan Seran Raden (56).
Sementara Suban Kian (69), warga Desa Sandosi, Kecamatan Witihama yang juga dari suku Kwaelaga berhasil melarikan diri.
Informasi yang dihimpun, kalau masing-masing korban mendatangi lokasi kebun Wulen Wata. Kedua belah pihak diketahui sudah lama bersengketa masalah lahan tersebut sejak tahun 1990-an.
Masing-masing pihak mendatangi lokasi kebun tersebut kemudian saling menyerang sehingga menimbulkan korban dari kedua belah pihak. Kedua suku berada di dalam Desa Sandosi, Kecamatan Witihama.
Awalnya masing-masing menempati lokasi yang ada. Suku Lamatokan berada di Sandosi 2 dan Suku Kwaelaga di Sandosi 1 dan digabung menjadi satu Desa yaitu Desa Sandosi l, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur.
Baik Suku Lamatokan maupun suku Kwaelaga saling klaim lokasi tersebut. Kedua suku sudah berulangkali difasilitasi oleh pemerintah Kecamatan Witihama dan Kapolsek Adonara untuk penyelesaian namun belum menemukan jalan keluar.
Sebelumnya pada, Kamis (27/2/2020) tujuh orang dari Suku Kwaelaga ke lokasi sengketa untuk melakukan kegiatan/berkebun menanam anakan jambu mete dan kelapa yang selama ini digarap oleh Suku Wuwur dan Suku Lamatokan.
Kegiatan yang dilakukan oleh Suku Kwaelaga tersebut menimbulkan kekecewaan dari Suku Lamatokan.
Buntutnya, warga suku Lamatokan mendatangi lokasi dan mengecek tanaman yang ditanam Suku Kwaelaga.
Saat itu, beberapa warga suku Kwaelaga mendatangi lokasi tersebut sehingga terjadi perdebatan terkait status lokasi tersebut dan berujung saling serang menggunakan senjata tajam hingga jatuhnya korban jiwa.
Informasi lain yang dihimpun, kalau lokasi sengketa bertempat di Wulewata pantai Bani, Desa Baubage selama ini diklaim oleh suku Kwaelaga sebagai miliknya.
Sedangkan di dalam lokasi yang disengketakan selama ini telah digarap oleh empat suku yaitu Suku Lamatokan, Suku Making, Suku Lewokeda dan Suku Wuwur.
Warga kesal karena Suku Kwaelaga selalu menebang tanaman yang ada di lokasi milik empat suku tersebut dengan alasan lokasi tersebut adalah milik mereka.
Empat suku yang ada di lokasi tidak merespon dan mengupayakan jalan damai dengan melaporkan apa yang dilakukan suku Kwaelaga kepada pemerintah Kecamatan dan Polsek Adonara.
Kapolres Flores Timur, AKBP Deny Abrahams yang dikonfirmasi, Kamis (4/3/2020) membenarkan kejadian ini.
Ia telah mengerahkan anggota Polres Flores Timur memback up anggota Polsek Witihama ditambah bantuan keamanan dari aparat TNI.
Hingga saat ini, aparat keamanan masih berjaga di sekitar lokasi kejadian dan menghimbau masyarakat tidak melakukan aksi balasan.
Sementara Kapolres Flores Timur, AKBP Deny Abrahams juga masih berada di lokasi kejadian.
Diberitakan sebelumnya, konflik antar kelompok masyarakat kembali terjadi di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Konflik terjadi antar dua suku di Desa Sandosi, Kecamatan Witihama. Perang tanding memperebutkan lokasi tanah itu mengakibatkan enam orang meninggal dunia.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Bupati Flores Timur, Agustinus Payong Boli ketika dikonfirmasi via ponsel, Kamis (5/3/2020) malam. Wabup membenarkan kejadian konflik antara dua warga ini.
Dijelaskan Wabup Agustinus bahwa baru saja pihaknya berkomunikasi via telepon dengan BPD dan aparat Desa Sandosi dan diketahui bahwa telah jatuh korban meninggal dunia sebanyak enam orang dan korban luka-luka belum diketahui karena lokasinya cukup jauh dari Desa Sandosi.
Dia juga langsung minta agar pemerintah Desa Sandosi segara mengimbau suku-suku lain agar tidak terprovokasi dan masing-masing suku yang bertikai agar menahan diri supaya tidak lagi bertambah jatuhnya korban lagi.
“Kepada semua camat se-daratan Pulau Adonara dan desa-desa lain agar mengimbau dan menahan masyarakatnya, jika punya niatan membantu suku-suku yang lagi bertikai di Desa Sandosi, karena di Adonara secara Lamaholot ada namanya “nara” atau sekutu lintas desa dan wilayah,” sebut Wabup.
Menurut Agustinus Payong Boli, biarkan pemerintah dan aparat keamanan menyelesaikan masalah yang ada ini. Kepada warga masyarakat agar tidak boleh membuat di medsos hal-hal yang provokatif peruncing keadaan di sana.
“Jika ada yang menulis bernada provokatif alias ujaran kebencian maka saya minta Kapolres segera menangkap pihak-pihak yang dengan sengaja provokasi para pihak,” tegas mantan anggota DPRD dua periode ini.
“Kita minta pihak kepolisian dan TNI agar mengirim pasukan lebih banyak dan siaga di Desa Sandosi dan sekitarnya sebelum korban dibawa masuk kampung karena situasi rusuh bisa saja terjadi saat itu,” harap Wabup.
“Kepada seluruh warga Lamaholot, Flores Timur, mari kita mendoakan agar masalah ini segera diselesaikan dan korban tidak lagi bertambah,” imbuhnya.
“Pemerintah juga menyampaikan turut berdukacita atas tragedi kematian saudara-saudara kita di Sandosi dalam konfik tanah ini. Semoga Tuhan menghapus dosa mereka dan menerima arwah mereka di sisi-Nya dan keluarga dikuatkan dalam kedamaian sejati,” pungkas Wabup Flotim. (wil)