Connect with us

UTAMA

Rumah Harapan GMIT Dampingi 33 Korban dan 11 Saksi Trafficking dan Kekerasan Perempuan-Anak

Published

on

Ketua Majelis Sinode GMIT Pdt. Mery Kolimon (depan kanan) menyampaikan pengalaman pendampimgan dan pertanggungjawaban publik atas kerja Rumah Harapan GMIT, Kamis (14/3).

Kupang, penatimor.com -Majelis Sinode GMIT menyampaikan pengalaman pendampingan dan pertanggungjawaban publik atas kerja Rumah Harapan yang didirikan Sinode GMIT pada Februari 2018.

Kegiatan ini digelar di kantor Sinode GMIT, Kamis (14/3), dipimpin oleh Ketua Majelis Sinode GMIT Pdt. Mery Kolimon bersama seluruh pengurus Rumah Harapan dan stakeholder lainnya.

Pada kesempatan itu, Pdt. Mery menjelaskan bahwa, sejak didirikannya Rumah Harapan GMIT, sudah ada 33 korban dan 11 saksi yang ditangani dari kasus perdagangan orang dan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Berdasarkan jenis kekerasan, jelas Mery, ada 7 kasus perdagangan orang, 9 kasus kekerasan seksual, 5 kasus ingkar janji menikah, 3 kasus kekerasan terhadap anak, 7 kasus kekerasan dalam rumah tangga serta 2 kasus kekerasan terhadap perempuan lainnya.

Selain itu, Rumah Harapan GMIT juga terlibat dalam pelayanan penerimaan jenazah dan pendampingan keluarga pekerja migran Indonesia asal NTT yang meninggal di luar negeri dan dikembalikan ke NTT.

Dari 100 jenazah yang dipulangkan dan tiba di cargo Bandara El Tari Kupang, Rumah Harapan GMIT menerima 82 jenazah dan mendampingi keluarga mereka.

Pdt. Mery mengaku, berbagai upaya prncegahan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri telah dilakukan, termasuk dari Pemerintah Provinsi NTT dengan program moratorium pengiriman tenaga kerja luar negeri.

“Tentunya GMIT sangat mendukung program moratorium ini, tetapi hal ini saja tidak cukup. Pemerintah juga harus menjamin ketersediaan lapangan kerja yang cukup agar masyarakat tidak lagi meninggalkan negeri sendiri dan bekerja di negeri orang,” katanya.

Dia mengaku, GMIT juga mendorong pemerintah untuk bekerja sama dengan pemerintah antar provinsi dan pemerintah antar negara. Kerja sama antar gereja, agar menjadikan isu ini sebagai isu bersama, isu kejahatan perdagangan orang.

Dia melanjutkan, salah satu upaya yang telah dilakukan Sinode GMIT adalah bekerja sama dengan Kementerian Desa, agar dapat memberikan harapan di desa, bagaimana anggaran dana desa dapat membawa harapan di desa.

GMIT juga mendorong kerja sama antara pendeta dan kepala desa.

“Jadi pendeta-pendeta yang bertugas di desa mulai dari Musrembang Desa, untuk membahas berbagai perencanaan. Misalnya isu kesehatan, pendidikan dan perlindungan dan pencegahan tenaga kerja ilegal,” ujarnya.

Ada hal penting yang terlupakan, lanjut Pdt. Mery, yaitu kebanyakan anak buruh migran menjadi korban anak rentan, rentan akses kesehatan, pendidikan dan rentan terhadap pemenuhan gizi.

“Bagaimana memastikan keamanan anak-anak buruh migran, karena mereka menjadi korban yang seringkali terabaikan,” katanya.

Mery menjelaskan, pemerintah harus ada bagi masyarakatnya, menjamin perlindungan terhadap warganya. Kerja sama dengan semua pihak untuk sama-sama memberikan perhatian serius bagi isu perdagangan orang yang saat ini menjadi pergumulan bersama.

Selain itu, masalah ekonomi juga harus menjadi isu penting. Bagaimana pemberdayaan ekonomi dapat dikembangkan mulai dari desa dengan melihat potensi yang ada di daerah masing-masing.

“Kami juga sudah ada komunitas Pendeta Suka Tani, yang melatih jemaat untuk mengelola lahan-lahan tidur yang ada untuk dijadikan sebagai sumber ekonomi masyarakat dan jemaat. Ada harapan di desa, jadi mari kita bekerja bersama untuk membuat pelatihan dan kegiatan lainnya untuk pemberdayaan ekonomi,” katanya.

Sementara itu, Pengelola Rumah Harapan GMIT Ferderika Tadu Hungu, mengatakan, kekerasan seksual adalah jenis kekerasan terbanyak yaitu 9 kasus. Bentuk-bentuknya adalah persetubuhan anak 53 persen dan perkosaan 47 persen.

“Pelaku kekerasan seksual adalah orang-orang dekat atau yang dikenal oleh korban, seperti pacar, paman, tetangga dan tokoh agama,” katanya.

Di Rumah Harapan GMIT, korban diberikan pendampingan rohani, konseling pribadi, layanan kesehatan, terapi kerja, pendampingan kepolisian dan pendampingan persidangan.

Dia menjelaskan, persoalan umum yang ditemui dalam pendampingan kasus perdagangan orang berdasarkan pendampingan sepanjang tahun 2018 adalah korban mengalami trauma dan proses pendampingan mahal.

Selain itu, korban juga tidak memiliki idenditas hukum sehingga kesulitan mengakses layanan kesehatan, penjatuhan hukuman yang masih rendah bagi para pelaku dan belum dijalankan sesuai dengan putusan pengadilan.

“Pekerja migran asal NTT yang meninggal sebagian besar karena penyakit degeneratif seperti paru-paru, diabetes, sepesis dan tekanan darah atau cedera, indikasi hak dan akses kesehatan dan perlindungan yang terabaikan,” kata Ferderika.

Selain itu, lanjut Ferderika, anak juga menjadi korban, kerentanan terhadap penyakit menular seksual, kehamilan dan kesulitan pembuktian dalam proses hukum, dan kebanyakan pelaku adalah orang dekat seperti keluarga dan tetangga yang seharusnya melindungi anak-anak.

“Diakui juga bahwa ekonomi menjadi fakror penyebab dominan anak menjadi ikutan dan penyelesaian secara damai menjadi pilihan. Selain itu subtansi hukum belum melindungi perempuan dan upaya pembuktian menjadi sangat mahal,” ujarnya.

Ferderika mengaku, penyelesaian masalah ataupun intervensi atas kasus hukum seringkali terhambat karena beberapa hal, yaitu masih tingginya pengampunan terhadap pelaku sehingga tidak berdampak pada efek jera dan penangulangan kasus yang sama oleh pelaku yang sama terhadap perempuan yang berbeda.

“Kami juga terkendala karena tingginya kecenderungan mempermasalahkan korban sehingga korban takut melapor, kesulitan pembuktian untuk proses hukum karena ketidaktahuan korban ataupun karena bukti atau dokumen yang dipegang oleh majikan atau agen khususnya untuk korban perdagangan orang,” terangnya.

Selain itu, hambatan lainnya adalah masih ada kelambanan negara dalam proses hukum, format penyidikan dengan sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang menyudutkan korban sehingga korban mengalami tekanan berlapis.

Putusan hukum terhadap pelaku juga masih rendah dan belum menjawab keadilan bagi korban, pendampingan intervensi yang holistic yang berbiaya mahal.

Adapun catatan positif selama pendampingan yaitu lembaga-lembaga lainnya seperti kepolisian khususnya PPA sangat berkolaboratif dalam kerja berjejaring meskipun dalam keterbatasan sumber daya dan fasilitas.

“Selain itu keterlibatan masyarakat umum, warga gereja dalam melaporkan kasus, keberanian korban untuk melanjutkan kasusnya meski tantangan dari pelaku yang pada umumnya adalah orang dekat, keterlibatan struktur GMIT, adanya putusan hakim untuk kurungan penjara yang tinggi kepada pelaku yaitu 12 tahun,” ungkap Ferderika. (R1)

Advertisement


Loading...