HUKRIM
FP2ST Kutuk Keras Tindakan Pelanggaran HAM di NTT
Kupang, Penatimor.com – Forum Peduli Pembangun Sumba Timur (FP2ST) Kupang sebagai forum yang konsisten mengawasi kebijakan dan advokasi mengutuk keras tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh oknum aparat anggota kepolisian dan koorporasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) khususnya di wilayah pulau Sumba.
Koordinator Forum Peduli Pembangun Sumba Timur (FP2ST) Kupang, Dedy F. Holo kepada media ini dalam keterangan tertulisnya yang mengatakan, dalam rangka peringatan Hari HAM yang diperingati setiap tanggal 10 Desember setiap tahunnya.
Dedy menjelaskan, pada tanggal 10 Desember 1950, Majelis Umum PBB mengesahkan Resolusi 423 yang isinya mengundang semua negara dan organisasi yang memiliki kepedulian terhadap hak asasi manusia (HAM) untuk merayakan hari HAM setiap tanggal 10 Desember. Deklarasi HAM Universal sendiri telah dilaksanakan oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948.
Karena itu, lanjut Dedy, aksi damai masyarakat Sumba pada Selasa, 11 Desember 2018 terkait hari HAM yang jatuh pada 10 Desember 2018 merupakan bagian dari upaya mendorong dan mendukung negara dan lembaga penegak hukum dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) untuk secara serius dan tegas menyelesaikan berbagai persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia khusunya di NTT (Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya).
“Dewasa ini persoalan HAM di pulau Sumba marak terjadi. Dari hasil investigasi kami ditemukan fakta bahwa sebagian pelanggaran HAM tersebut dilakukan oleh lembaga penegak hukum (Oknum kepolisian) salah satu kasus yang masih hangat dan menjadi perhatian publik adalah belum adanya sikap dan kejelasan yang tegas dari negara terkait kasus pelanggaran HAM Poro Duka yang terjadi pada bulan april 2018 di Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat. Negara seolah “ABSEN” dalam menyelasaikan dan menindak tegas pelaku pelanggaran HAM berat yang terjadi sepanjang tahun 2018,” ungkapnya.
Dedy berargumen, “absen”nya negara dalam penuntasan kasus HAM di Indonesia tentu saja memberikan kesan yang tidak baik di mata dunia internasional. Negara harus mampu memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap warga negaranya. Kejadian sepanjang tahun 2018 di NTT khususnya pulau Sumba menambah catatan hitam pelanggran HAM di Indonesia.
“Apa yang dilakukan oleh kepolisian sebagai alat negara yang seharusnya melayani dengan baik tidak diimplementasikan dalam tatanan kebangsaan saat ini. Poro Duka, Agustinus Ana Mesa menjadi korban dari tindakan represif alat negara terhadap masyarakat sipil yang tidak berdaya. Lalu dimanakah peran negara?,” katanya retoris.
Dia menyebutkan, di pulau Sumba pelanggaran HAM berat dalam satu tahun terakhir cukup menjadi perhatian dunia terkait oknum aparat yang melakukan penembakan terhadap warga sipil, sebut saja seperti kasus pada bulan April dan Agustus 2018 ketika Poro Duka dan Agustinus Ana Mesa menjadi korban timah panas aparat.
“Ini perlu disikapi secara serius oleh negara untuk memberikan kepastian hukum yang jelas kepada rakyat terkait HAM sesuai konstitusi negara,” tegasnya.
Oleh karena itu Warga Marosi, Dede Pada, Bondo Delo, Tawali, Langga Liru, Walhi NTT, Sarnelli, JP KW, JPIC Reds Indonesia dan masyarakat sipil menyatakan sikap dan keprihatinan terkait berbagai persoalan HAM yang terjadi di pulau Sumba.
Kenyataan pahit yang dihadapi oleh masyarakat Sumba-NTT masih jauh dari jaminan HAM yang tertuang dalam UU RI No. 39 Tahun 1999. Banyak masyarakat NTT yang diperdagangkan ke luar negeri (human trafficking) bahkan pulang dalam peti mati.
“Data dari bulan Januari sampai dengan Oktober 2018 buruh migran NTT yang telah meninggal mencapai 89 korban. Rumah Perempuan Kupang juga mendata banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan di NTT dari tahun 2002-2017 sebanyak 3.621 kasus kekerasan (liputan6.com),” sebutnya.
Dia mengisahkan, pada bulan April 2018 peristiwa pelanggaran HAM terjadi di Sumba Barat, seorang petani bernama Poro Duka harus menjadi korban pelanggaran HAM. Poro Duka ditembak oleh aparat kepolisian Sumba Barat ketika berjuang mempertahankan tanah yang akan dikuasai oleh investor.
Tak lama berselang pada bulan Agustus 2018, seorang petani asal Sumba Barat Daya bernama Agustinus Ana Mesa alias Hengky ditembak oleh aparat sampai harus diamputasi, dan untuk kasusnya sendiri belum ada proses hukum.
“Lagi-lagi publik meminta tanggungjawab negara soal jaminan HAM,” katanya.
Dia menambahkan, sepanjang tahun 2018 di Pulau Sumba ada beberapa kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum kepolisian dan koorporasi (perusahaan). Ini baru yang nampak dipermukaan belum lagi yang tidak nampak dipermukaan.
“Hasil investigasi tim dilapangan ditemukan fakta bahwa sebagian pelanggaran HAM tersebut bersentuhan dengan persoalan wilayah kelola rakyat (lahan) dimana alih fungsi lahan menjadi indikator pelanggaran HAM baik itu sosial budaya, ekonomi dan lingkungan hidup,” imbuhnya.
Oleh karana itu Forum Peduli Pembangun Sumba Timur (FP2ST) Kupang sebagai Forum yang konsisten mengawasi kebijakan dan advokasi mengutuk keras tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oknum aparat anggota kepolisian dan koorporasi. Dengan ini FP2ST Kupang menyampaikan sikap secara tegas kepada pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, DPRD dan Kepolisian RI untuk :
1. Mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM berat (Poro Duka) di Sumba Barat – NTT.
2. Meminta pihak kepolisian untuk bertangungjawab terhadap kasus penembakan masyarakat sipil di Sumba Barat dan Sumba Barat Daya.
3. Hentikan segala tindakan kekerasan dan itimidasi terhadap masyarakat sipil di pulau Sumba-NTT.
4. Meminta KAPOLRI untuk secara serius menyelesaikan penegakan hukum terkait persoalan HAM di pulau Sumba-NTT.
5. Meminta DPRD untuk segera membentuk pansus dan melakukan investigasi terkait pelanggaran HAM di Sumba.
6. Publik meminta kepastian hukum pelaku pelanggaran HAM berat di Pulau Sumba-NTT.
7. Meminta Bupati Se-Sumba untuk serius menerapkan kebijakan pembangunan yang berbasis HAM, melindungi masyarakat dan wilayah kelolanya.
8. Tangkap dan adili pelaku pembunuhan Margareta Wada Padda di Sumba Barat Daya.
(R2)