Connect with us

POLKAM

KPU Diingatkan Tak Gadaikan Independensinya untuk Kepentingan Pihak Ketiga Menjegal OSO

Published

on

Petrus Salestinus (NET)

Jakarta, penatimor.com – Putusan hakim yang bersifat final and binding menuntut pelaksanaan segera sesuai dengan limit waktu yang diberikan oleh Undang-Undang (UU).

Karena itu di MK dan/atau MA tidak ada lagi forum untuk melakukan konsultasi/kompromi dengan siapapun terkait pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Seperti diketahui PTUN Jakarta dalam putusannya telah membatalkan Surat Keputusan KPU tentang pencoretan nama Oesman Sapta Oedang (OSO) dalam DCT Calon Perseorangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pada Pemilu 2019 dan memerintahkan KPU RI untuk mencantumkan kembali nama OSO dalam DCT Calon Perseorang DPD RI pada Pemilu 2019.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), kepada wartawan di Jakarta, Selasa (20/11), mengatakan, sebagai sebuah putusan Pengadilan yang bersifat final and binding, maka KPU RI tidak lagi punya pilihan lain selain hanya melaksanakan putusan PTUN Jakarta yang bersifat final and binding yang telah dimenangkan OSO.

Oleh karena itu menurut dia, rencana KPU RI untuk melakukan konsultasi dan/atau kompromi dengan MK dan/atau MA, hal itu jelas tidak etis dan melanggar hukum acara yang berlaku.

“Konsultasi dan kompromi yang digagas oleh KPU jelas merupakan pembangkangan terhadap putusan PTUN Jakarta yang sudah berkekuatan hukum tetap yang bersifat final and binding,” tandas Petrus.

Oleh karena itu, menurut advokat senior Peradi itu, MK tidak boleh terjebak dalam manuver KPU melalui apa yang disebut sebagai konsultasi, karena pertemuan yang dibolehkan UU antara MK dan lembaga negara lainnya terkait perkara adalah hanya sepanjang perkara itu masih berjalan dan hanya boleh dilakukan di ruang sidang terbuka untuk umum.

“Pertemuan yang hendak dilakukan oleh KPU RI dengan MK meskipun atas nama konsultasi, jelas bersifat politis dan inkonstitusional. KPU RI tidak boleh menyeret MK dalam mempolitisasi kepastian hukum dan keadilan yang sudah diperoleh OSO melalui putusan PTUN Jakarta yang bersifat final and binding,” tegas Petrus.

Pertemuan konsultasi, lanjut dia, hanya boleh dilakukan oleh pihak OSO atau sebaliknya pihak KPU mengambil inisiatif untuk konsultasi dan/atau kompromi dengan OSO terkait dengan persoalan teknis pelaksanaan putusan PTUN Jakarta yang sudah bersifat final and binding serta eksekutorial.

“Jadi sesungguhnya sudah tidak ada lagi ruang bagi KPU untuk menunda-nunda pelaksanaan putusan PTUN, karena dengan menunda-nunda pelaksanaan putusan PTUN, maka OSO dan pendukungnya sudah sangat dirugikan dimana hal itu mengandung konsekuensi hukum lebih lanjut,” imbuhnya.

Dijelaskan, konsekuensi logis dari sikap KPU menunda melaksanakan putusan PTUN dimaksud, maka seluruh komisioner KPU bisa diadukan ke DKPP karena diduga melakukan pelanggaran etika, dengan sanksi dipecat, karena perbuatan membangkangi putusan PTUN Jakarta yang bersifat eksekutorial bisa dikualifikasi sebagai pelanggaran etika berkategori berat dan Pedoman Perilaku Komisioner KPU.

“Pilihan sikap KPU untuk konsultasi dengan MK jelas melecehkan MA dan PTUN Jakarta, dan ini akan menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum khususnya pelaksanaan putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang selama ini dikenal sebagai macan ompong yang tidak berdaya. Padahal DPR sudah melakukan pembenahan terhadap UU Peradilan PTUN agar putusan PTUN memiliki daya paksa dan wibawa,” jelas dia.

Petrus menilai hal ini jelas merupakan langkah mundur dalam penegakan hukum dan demokrasi, karena memberi pesan konkrit bahwa independensi KPU RI bisa digadaikan atau dibeli demi memenuhi ambisi politik pihak ketiga yang bertujuan menjegal OSO.

KPU RI juga dinilai berada pada posisi terjebak dalam kepentingan pihak ketiga, sehingga tidak segan-segan melacurkan independensinya, melakukan politisasi terhadap kepastian hukum dan keadilan yang sudah menjadi milik OSO, baik melalui putusan MA maupun putusan PTUN Jakarta.

“Jika seorang OSO saja diperlakukan demikian, bagaimana dengan nasib rakyat kecil pencari keadilan. Untuk itu kasus ini harus dibawa ke DKPP untuk diproses dan tidak tertutup kemungkinan seluruh komisioner KPU diberhentikan dari jabatan di KPU,” pungkas Petrus Salestinus. (R4)

Advertisement


Loading...
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *