PENDIDIKAN & SASTRA
Perempuan Buku
Oleh: Honing Sanny
SENDIRIAN dia duduk di salah satu pojok ruang tunggu VIP Bandara El Tari sambil serius membaca buku. Boleh jadi novel terjemahan. Sementara kakinya dibiarkan selonjor di atas koper kecil yang ada di depannya. Lalu di samping tergeletak novel yang masih terbungkus plastik yang juga menjadi bagian dari perjalanannya. Boleh jadi dia akan melakukan perjalanan dalam waktu yang lama.
Dari wajahnya yang agak serius dipastikan dia bukan orang NTT. Kulit wajahnya putih bening agak lonjong dengan sorot mata yang tajam mirip sekali wajah-wajah perempuan magribi yang pernah saya jumpai ketika berkunjung ke Maroko beberapa waktu yg lalu ketika dalam perjalanan menyeberangi Selat Gibraltar menuju Spanyol.
Aku orang kedua yang yang ada dalam ruangan yang sama. Meskipun aku memperhatikannya cukup lama namun tidak membuat dia terganggu. Dia asyik saja membaca tanpa sekalipun mengangkat wajah untuk memperhatikan sekelilingnya. Hanya sesekali petugas bandara dan pramusaji yang merapikan hidangan snack sederhana untuk para penumpang yang datang menunggu penerbangan.
Aku memberanikan diri menyapanya sebagai bentuk sopan santun khas NTT yang selalu ramah menyapa tamu-tamu yang datang berkunjung ke NTT. Apalagi program gubernur yang baru selalu mengkampanyekan pariwisata sebagai primemover pembangunan sehingga keramahan menjadi modal utama agar orang betah dan mau berlama-lama tinggal di NTT seperti yang selama ini dilakukan masyarakat Bali terhadap semua orang yang datang ke Bali.
“Selamat pagi mbak, maaf mau kemana?”
“Aku mau ke Lamalera mas”, jawabnya acuh ta acuh.
“Jangan panggil aku mas, panggil saja abang. Nama saya Alkemis,” sambil menyodorkan tangan sebagai bagian dari perkenalan.
“Oh ya abang. Aurora. Aku dari Jakarta. Aku dulunya wartawan tapi sekarang lagi suka traveling. Aku baca banyak sekali hal tentang Lamalera dan Lembata dan aku ingin ke sana.”
Berdiam sesaat mendengar penjelasan tentang diri perempuan di hadapanku.
“Kamu sendirian.”
“Iya bang. Sendiri. Kalo sama teman jarang sekali. Aku ingin menikmati indahnya alam sendiri saja supaya lebih dapat tastenya. Kan kalo sendirian bisa berlama-lama tanpa ada yang menggangu.”
“Abang mau kemana?”
“Saya juga ke Lembata tapi untuk urusan yang lain. Saya mau bertemu masyarakat. Kan sekarang lagi musim kampanye. Abang kan caleg jadi harus sering ketemu masyarakat.”
Mendengar bahwa aku juga ke Lembata dia terlihat gembira. Namun saat dengar kalau aku caleg wajahnya berubah datar dengan hiasan senyum seadanya. Boleh jadi dia tidak suka politik. Bisa jadi juga dia tidak percaya politisi. Dapat dimengerti karena profesinya sebagai wartawan pasti dia bertemu dengan banyak sekali politisi. Apalagi dia mantan wartawan dari salah satu televisi berita nasional.
“Kenapa kamu memandangku datar setelah tahu aku politisi”
“Ga juga sih bang. Tapi aku ga tertarik politik. Bagiku politik itu bullshit. Maaf ya bang, hampir semua politisi tukang bual. Suka memberi janji palsu. Sesudah berkuasa semua lupa. Sulit dihubungi lah. Ganti nomor telp lah. Handphone dipegang ajudan lah. Belum lagi gaya banget. Kemana-mana bawa sekretaris. Tapi udah lah bang. Sorry lho barangkali abang beda. Toh kita baru kenal sekarang.”
Ruangan mulai ramai dan sudah banyak penumpang memenuhi ruangan. Saya juga bertemu dengan beberapa kawan termasuk beberapa pejabat Lembata yang baru kembali tugas di Jakarta. Kami saling bercerita tentang banyak hal termasuk beberapa dari mereka menceritakan pengalaman ketika pertama kali bertemu dengan gubernur NTT yang baru. Kesan pertama mereka galak, namun sesudahnya mereka kagum.
“Perhatian-perhatian, pesawat udara tujuan lembata akan segera diberangkatkan. Para penumpang diharapkan segera naik ke pesawat.”
Semua penumpang pun bergegas keluar dari ruang VIP menuju pesawat. Saya memilih untuk tidak langsung jalan karena ingin menemani Aurora biar sama-sama menuju pesawat karena dia sendirian.
Sambil jalan paling akhir dari penumpang yang menuju pesawat aku tanyakan, “Seatmu nomor berapa?”
“19A bang. Aku suka dekat jendela dan dekat pintu keluar. Abang?”
“Aku juga 19C.”
Mendengar jawaban itu seperti tidak percaya tiba-tiba tangannya refleks menepuk pundakku.
“Berarti kita jejeran dong bang. Jodoh kali ya”, candanya santai menuju tangga pesawat.
*****
Setelah pesawat meninggalkan landasan, dia terlihat sibuk dengan androidnya mengabadikan setiap lekak lekuk deretan lembah dan bukit serta pesona bibir pantai Selat Ombai yang berbentang di utara Pulau Timor.
Setelah semuanya hilang dari pandangan, seperti tidak peduli dengan kawan baru yang duduk di sampingnya dia kembali membuka buku melanjutkan membaca novel yang sama ketika pertama kali kami berjumpa di ruang tunggu.
Saya mencoba mengajaknya ngobrol. Siapa tahu dia suka cuma malu untuk memulai. “Di Lembata sudah ada yang tunggu.”
“Nggak bang.”
“Lalu siapa yang urus selama kamu di Lembata.?”
“Aku searching di internet kok bang. Aku udah dapat hotel juga mobil. Aku sudah kabari mereka jam aku tiba di Lembata. Drivernya sudah kabari kalo dia sudah stand by di bandara tadi sebelum kita terbang. Rencananya aku cuma sebentar di hotel langsung cabut ke Lamalera. Bisa jadi aku akan nginap di sana karena katanya ada homestay. Kawanku yang pernah ke sana bilang penginapannya bersih. Pemiliknya tinggal di Jakarta. Namanya Bona Beding. Aku sudah beberapa kali kontak hp-nya namun selalu tidak aktif. Aku akan coba langsung saja pas sampe di sana.”
“Aku kenal kok Bona Beding”
“Oh ya. Dia teman abang?”
“Iya kami sama-sama waktu aku kuliah di Yogya. Sekarang juga sering kontak. Dia punya penerbitan sendiri. Namanya Lamalera. Nanti pas turun pesawat aku coba kontak Bona ya biar dia suruh adiknya yang kelola homestay siapkan kamar buat kamu. Aku juga tau ko rumahnya bersih. Banyak sekali artis dan orang-orang hebat jakarta yang menginap di homestay-nya.”
“Jadi dulu Abang kuliah di Yogya. Kalo boleh tahu kuliah dimana ya?”
“Aku di UGM mbak. Ambil geologi.”
“Aku di Brawijaya bang. Pernah dua kali coba tes UMPTN milih UGM tapi ga keterima.”
Setelah pesawat berhenti kamipun turun paling awal karena tempat duduk kami dekat pintu.
“Abang nginap dimana?”
“Aku kalo di Lembata selalu nginap di rumah penduduk. Kebetulan dari pertama kali ke Lembata saya selalu nginap di sana. Kami sudah lebih dari saudara hubungannya.”
Sambil menunggu bagasi kami pun bertukar nomor handphone karena sebentar lagi kami akan berpisah dengan tujuan masing-masing yang belum tentu bertemu kembali.
“Tulis saja Bang Alkemis. Rasanya tidak ada yang punya nama seperti nama Abang”, kataku sok akrab sambil tertawa sekaligus ciri khasku ketika sudah merasa akrab dengan orang.
“Nama yang bagus Bang seperti judul novel pujangga Brazil Paulo Coelho.”
Dalam hatiku mulai curiga ini perempuan tomboy pasti suka baca. Jujur aku selalu kagum dengan perempuan tomboy yang pintar apalagi suka membaca. Ceritanya tentang Paulo Coelho, sastrawan yang menghabiskan waktu di depan Pantai Copacabana sungguh menarik. Aku membaca hampir semua novelnya termasuk juga catatan hariannya.
Benar saja waktu pertama berjumpa dia pegang dua buah buku. Jangan-jangan di dalam kopernya masih ada beberapa buku lagi. Tapi karena karakter ariesku, aku jarang sekali memberikan pujian kepada orang lain apalagi dengan orang yang baru aku kenal dalam perjalanan.
“Berapa nomor handphonemu mba?”
“Aurora ya bang. Tapi jangan iseng ya Bang. Kalo iseng nanti aku males dan kalo sering-sering nanti aku blok. Aku ga mau ribet soalnya.”
“Iya iya. Toh belum tentu aku kontak kamu kok kalau ga penting-penting amat. Lagian profesi kita berbeda. Aku malah yakin kamu yang akan duluan kontak aku barangkali mau nanya banyak hal tentang Lembata dan NTT”, kataku penuh percaya diri.
“Mulai sekarang aku panggil kamu Aurora saja ya biar akrab. Kalau kamu beberapa hari di Lamalera jangan lupa sempatkan mampir ke Pasar Barter di Wulandoni jaraknya tidak dari Lamalera. Rasanya di dunia cuma ada di sana. Di pasar itu transaksinya tanpa uang. Masyarakat Lamalera membawa dendeng ikan paus lalu ditukarkan dengan makanan seperti ubi, jagung, pisang. Mudah-mudahan kamu bisa mengabadikan moment itu.”
“Asyik dong kalo begitu. Aku akan ambil gambar laku masukan ke IG dan facebook sekaligus membantu mempromosikan pariwisata Lembata. Siapa tahu akan semakin banyak orang akan berkunjung ke sini. Btw, Abang ga mau kesana?”, sambil melirik memberi senyum menggoda.
Mendengar ajakan itu aku jadi salting alias grogi juga namun aku berusaha tetap terlihat cool. Aku mencoba menahan naluriku sebagai laki-laki.
“Sorry banget Aurora, Abang pingin sih jadi guide buat kamu apalagi abang tahu banyak tempat bagus di Lembata namun acara abang padat sekali. Kalo batalin acara pasti masyarakat kecewa dan abang pasti tidak dipilih nanti saat pileg. Kan Lembata ini dari dulu selalu jadi basis politik buat Abang. Tapi abang akan pandu kamu pertelp saja.”
“Ya udah ga apa-apa kok. Aku kan suka iseng. Ngetes aja. Kan politisi juga suka iseng.”
Makin lama kok aku makin mengangumi perempuan perjalanan ini. Omongnya enak. Wawasannya luas. Cepat akrab dan supel.
“Lamalera bukan cuma ikan paus dan pantai yang indah. Dari sana banyak sekali lahir orang hebat. Sebut saja Gorries Keraf ahli bahasa Indonesia. Sony Keraf mantan menteri jaman Gus Dur. Dari perkampungan yg dipenuhi karang itu banyak sekali pastor dan suster yang menyebar ke seluruh dunia. Namun kebanyakan orang Lembata sering menyebut orang Lamalera punya sifat yang cenderung irit dan hemat, barangkali karena kondisi alamnya sulit.”
“Sayang ya. Abang ga bisa ikut. Kalo abang memanin pasti banyak cerita selama di Lamalera.” Kali ini dari wajahnya terlihat serius tanpa ada ekspresi menggoda seperti ajakan pertama.
Saya mulai heran kok bisa ada perempuan lajang yang secara terbuka mengajak laki-laki yang baru dia kenal dalam perjalanan untuk menemaninya traveling meskipun dari banyak sopir travel lintas Flores saya dengar cerita bahwa banyak sekali pasangan traveling itu saling kenal saat dalam perjalanan lalu bersama-sama. Boleh jadi biar jadi teman dan lebih irit karena bisa berbagi sekamar berdua. Mungkin itu kenikmatan yang diperoleh para traveller.
“Begini saja, saya akan minta kawan saya yang jauh lebih mengerti tentang daerah sini untuk temanin kamu ya.”
“Ga usah bang nanti ngerepotin. Kan kalo sama Abang kan kita bisa diskusikan banyak hal bukan sekedar Lembata. Apalagi Abang juga suka membaca. Kalo sekedar spot bagus, kan bisa nanya Mbak Google”, katanya penuh canda.
******
Tanpa terasa kami berdua telah lama berdiri di teras bandara Lewoleba. Kami ngobrol dengan akrabnya layaknya kawan sekolah SMA yang baru berjumpa padahal kami baru kenalan. Benar-benar terasa keakraban di antara kami berdua.
Sementara udara begitu panasnya. Bandara pun sudah terlihat sepi karena semua penumpang sudah meninggalkan bandara. Tinggal dua mobil kami saja yang masih terlihat di parkiran. Koper-koper kami pun sudah dimasukan ke mobil masing-masing. Sambil menunggu kami, dua orang sopir yang membawa mobil kami duduk santai sambil merokok.
“Aurora kayaknya udah sepi nih. Kita bubar yuk. Nanti kita bisa saling telpon kalo mau ngobrol lagi karena Abang sebentar lagi ada acara. Tapi jangan bayangkan seperti di Jakarta. Di sini tempat kopi cuma ada di Jeti. Tepatnya jejeran warung makan yang terletak persis di depan Pelabuhan Laut Lewoleba. Itu satu-satunya yang ada di sini. Makanan favorit yang selalu dicari oleh semua yang datang ke Lembata adalah ikan kuah asam dan ikan bakar karena ikannya masih segar.”
“Ok bang kalo begitu nanti kita saling berkabar saja. Saya juga rencananya sore ini langsung ke Lamalera”.
Seperti refleks kami pun saling berpelukan untuk kemudian menuju ke mobil masing-masing.
“Abang saya punya novel bagus yang baru saya beli sebelum ke sini. Judulnya: Cinta Itu Luka. Barangkali saja abang mau baca. Kalo sudah selesai baca jangan lupa balikin ya sekalian jadi alasan kita bisa jumpa lagi.”
Dia pun mengeluarkan novel dari tasnya dengan penuh yakin khas petualang. Saya menerima dengan penuh haru karena jarang sekali jumpai wanita muda dengan tingkat percaya diri yang tinggi seperti Aurora. Gayanya mengingatkan saya pada wanita blasteran Solo- Eropa bernama Matahari yang menjadi spionase jaman perang dan menaklukkan banyak sekali jenderal perang di Eropa pada jamannya.
Kami pun berpisah. Mobil kami beriringan keluar dari bandara dan berpisah jalan ketika sampai di pertigaan.
Sepanjang perjalanan saya berusaha mengingat detail pertemuan dengan Aurora dan tiba-tiba saja saya seperti merasa kehilangan seorang sahabat dekat. Ada rasa sedih, galau dan sedikit rindu.
Tanpa ragu saya ambil telepon gegam, mencari nomor kontaknya lalu menuliskan pesan singkat melalui WA: Aku merasa kehilanganmu perempuan buku. Nikmati saja semilir angin pantai Lamalera. Biarkan saja dia mengelusmu lembut dan anggap saja aku sedang ada bersamamu. Sampai kita ketemu lagi. Jakarta, 7 Oktober 2018. (*)