NASIONAL
Stunting, Ancaman Bagi Bonus Demografi 2030

Jakarta, penatimor.com – Jumlah anak stunting di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) merilis, anak stunting tidak hanya dialami oleh keluarga yang miskin dan kurang mampu, tetapi juga dialami oleh keluarga yang tidak miskin yang berada di atas 40% tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi.
Untuk menanggulangi angka stunting di Indonesia, pemerintah memasukkan penurunan stunting menjadi target Program Kerja Menengah Nasional Pemerintah 2015-2019.
“Masyarakat belum banyak yang mengenal apa itu stunting. Pertumbuhan anak yang terhambat sering dianggap sebagai faktor keturunan saja sehingga diabaikan,” ujar Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Niken Widiastuti di Jakarta Kamis, (16/8).
Niken mengimbau, orangtua perlu memantau proses tumbuh kembang anak terutama di masa 1000 Hari Pertama Kehidupan.
Menurutnya, hidup bersih dan sehat merupakan salah satu kunci untuk memastikan pertumbuhan anak yang maksimal agar anak dapat terhindar dari Stunting.
“Stunting dapat menjadi ancaman bagi generasi Indonesia di masa depan jika tidak segera dicegah. Indonesia akan melewatkan masa bonus demografi hingga tahun 2030 dengan tidak optimal karena tidak dapat menciptakan generasi emas Indonesia,” lanjut Niken.
Dijelaskan, stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu lama, umumnya karena asupan makan yang tidak sesuai kebutuhan gizi.
Stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun.
Untuk itu, masyarakat diimbau untuk mengenal tanda-tanda anak mengalami stunting yaitu antara lain, anak bertubuh lebih pendek untuk anak seusianya, proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih muda/kecil untuk usianya, pubertas terlambat dan performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar.
Salah satu wilayah di Indonesia dengan angka stunting tertinggi adalah Kabupaten Ogan Komering ilir.
Angka stunting Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) menurut Riskesdas Tahun 2013 mencapai 40,5% atau hampir setengah balita di OKI mengalami stunting. Bahkan, angka ini di atas angka stunting nasional 37%.
Niken jelaskan, semakin muda usia perkawinan, semakin besar risiko melahirkan bayi stunting. Kasus stunting yang terjadi di keluarga miskin sebesar 48,4% dan pada keluarga kaya sebesar 29,0%.
Permasalahannya, papar Niken, para ibu sering kali memiliki pengetahuan yang minim dalam pengasuhan anak sejak dalam kandungan.
“Faktanya saat ini 60% dari anak usia 0 – 6 bulan tidak mendapatkan ASI eksklusif. Sebanyak 2 – 3 anak usia 0 – 24 bulan tidak menerima MP – ASI,” kata Niken.
“Data lain menyebutkan 2 -3 ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang memadai,” sambung dia.
Sebanyak 1 dari 3 anak usia 3 – 6 tahun tidak terdaftar di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini).
Niken melajutkan, menurunnya tingkat kehadiran anak di Posyandu (dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013), menjadikan program – program kesehatan dari pemerintah untuk anak usia dini seringkali tidak diterima secara maksimal. Termasuk di dalamnya program pelayanan imunisasi yang memadai.
“Jika stunting tidak segera ditanggulangi maka bonus demografi ini akan menjadi sia–sia. Indonesia hanya akan memiliki banyak generasi muda yang tidak produktif. Hal ini dikarenakan stunting akan menghasilkan generasi yang serba kekurangan,” ujar Niken.
Indonesia Darurat Gizi Buruk
Niken Widiastuti melanjutkan, Indonesia termasuk negara yang mengamali darurat gizi buruk. WHO mencatat, sudah sebanyak 7,8 juta dari 23 juta anak balita Indonesia mengalami stunting akibat gizi buruk.
“WHO sendiri telah menempatkan stunting sebagai masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu yang cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai janin dalam kandungan ibu, dan baru akan terlihat di usia 2 tahun,” terang dia.
Fakta itu kata Niken, diperkuat dengan data dari Kementerian PPN/Bappenas mencatat, Indonesia termasuk ke dalam 17 negara yang mengalami beban ganda permasalahan gizi, berdasarkan Global Nutrition Report pada 2014.
Sementara, berdasarkan data tersebut 9 juta dari 159 juta anak stunting di seluruh dunia, tinggal di Indonesia.
Target pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah menurunkan prevalensi stunting dari status awal 32,9 persen turun menjadi 28 persen pada tahun 2019.
Ditambahkan, sinergi program kementerian/lembaga yang secara regular telah dilaksanakan ialah, peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak.
Selain itu, lanjut Niken, pemerintah terus melakukan sosialisai dan edukasi untuk ASI ekslusif, 4 Sehat 5 Sempurna, dan pernikahan di atas 19 tahun untuk perempuan.
“Program lainnya yakni penguatan pelayanan kesehatan dasar berkualitas, pembangunan infrastruktur air minum dan sanitasi,” pungkan Niken Widiastuti. (R3)
