Connect with us

HUKRIM

Terobosan Brilian Kajari TTU, Restorative Justice Akan Pertimbangkan Hukum Adat

Published

on

Kajari TTU Roberth Jimmy Lambila, SH.,MH., bersama Kajati NTT, Hutama Wisnu, SH.,MH.

KEFAMENANU, PENATIMOR – Satu lagi terobosan brilian dilakukan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) di bawah kepemimpinan Kajari Roberth Jimmy Lambila, SH.,MH.

Selain gencar melakukan penanganan perkara sesuai tupoksi dan kewenangan korps Adhyaksa, Kajari Roberth juga melahirkan program-program yang tidak biasa di bumi Biinmafo.

Salah satu program yang akan dilakukan adalah menghidupkan kembali aturan-aturan adat yang berlaku di Kabupaten TTU dengan mendorong peningkatan peran lembaga adat.

Upaya penguatan hukum adat ini dimaksudkan untuk mendukung upaya Restorative Justice (RJ).

Upaya penyelesaian masalah melalui proses pidana yang diatur oleh Undang-Undang, KUHAP, dan Hukum Pidana, dipandang oleh institusi Kejaksaan tidak efektif dalam upaya mencapai keadilan dan kemanfaatan hukum.

Dengan demikian, upaya Restorasi Justice menjadi isu yang dikembangkan, karena penyelesaian perkara-perkara tertentu lebih baik diupayakan melalui penyelesaian damai dengan instrumen Restorasi Justice.

Untuk tujuan tersebut, Kajari Roberth berencana menggelar seminar tentang penguatan hukum adat.

Seminar ini akan digelar Kejari TTU dengan menggandeng Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (Stikum) Cendana Wangi.

Kegiatan yang segera dihelat dalam rangka peringatan Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) atau Hari Ulang Tahun Kejaksaan Republik Indonesia yang jatuh pada tanggal 22 Juli 2022 mendatang, juga akan mengikut sertakan seluruh Duta Kejari TTU yang ada di seluruh kecamatan se-Kabupaten TTU.

Kajari TTU Roberth Jimmy Lambila yang diwawancarai di kantornya, Kamis (7/7/2022), mengatakan, lewat seminar penguatan hukum adat, nantinya penyelesaian perkara tindak pidana tertentu bisa dilakukan melalui Restorative Justice.

Seminar berkaitan dengan upaya penyelesaian masalah pidana melalui keadilan restoratif atau Restorative Justice, sehingga nantinya juga akan mempertimbangkan hukum adat atau kearifan lokal yang berlaku di seluruh wilayah hukum Kejari TTU.

Untuk maksud tersebut, nantinya dalam proses Restorative Justice akan melibatkan tokoh-tokoh adat pada wilayah para pihak yang berperkara.

“Harapan kami, tokoh-tokoh adat dapat ikut berperan dan terlibat dalam proses Restorative Justice, sehingga kasus-kasus pidana tertentu yang sesuai ketentuan dimungkinkan diselesaikan melalui instrumen Restorative Justice, bisa juga menggunakan hukum adat yang berlaku di TTU,” kata Roberth Lambila.

Roberth yang pernah meraih penghargaan sebagai Jaksa Terbaik Tingkat Nasional tahun 2016 itu menilai, Restorative Justice merupakan instrumen yang sangat penting sebagai upaya untuk mengembalikan situasi pada kondisi semula.

“Kejaksaan melihat upaya perdamaian menjadi penting antara pihak pelaku dan pihak korban. Untuk itu, upaya Restorative Justice bukan hanya tanggung jawab penegak hukum, melainkan seluruh masyarakat, khususnya masyarakat adat,” jelas mantan Kasi Penyidikan dan Kasi Penuntutan Bidang Pidsus Kejati NTT itu.

Untuk itu, bekas Jaksa Koordinator pada Kejati NTT itu berharap, tokoh-tokoh adat yang memiliki pengaruh secara sosial dan adat, harus kembali menguatkan aturan-aturan adat atau kearifan lokal yang berlaku di wilayah masing-masing demi mendukung upaya Restorative Justice.

Untuk diketahui Keadilan Restoratif/Restorative Justice merupakan prinsip penyelesaian perkara dengan lebih menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula daripada menuntut adanya hukuman dari pengadilan.

Praktik penegakan hukum dengan mengadopsi prinsip keadilan restoratif untuk menyelesaikan suatu perkara pidana sudah dilakukan di semua institusi penegakan hukum di Indonesia, baik Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia maupun Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Pimpinan dari Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagai lembaga penegakan hukum di Indonesia menandatangani Nota Kesepakatan Bersama pada tanggal 17 Oktober 2012 yang mengatur mengenai penyelesaian perkara pidana melalui prinsip keadilan restoratif.

Dalam ruang lingkup Kejaksaan Republik Indonesia, keadilan restoratif diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. (nus)

Advertisement


Loading...