HUKRIM
Pendeta Sailana Dibui 18 Tahun, Keluarga Korban Mengamuk
Kupang, penatimor.com – Kasus dugaan pembunuhan yang dilakukan pensiunan guru SD dan juga seorang pendeta, Edward Sailana (69) di Kelurahan Oepura, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang, akhirnya diputus majelis hakim di ruang sidang Cakra Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1A Kupang, Selasa (4/12).
Majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara selama 18 tahun terhadap terdakwa Edward yang telah melakukan pembunuhan sadis terhadap korban Debby Anggreani Balla.
Terpantau, mendengar hukuman kurungan yang dijatuhkan kepada tersangka, keluarga korban yang berkesempatan menghadiri sidang putusan tersebut, melakukan aksi protes terhadap majelis hakim dan mengancam kuasa hukum terdakwa karena dinilai putusan majelis hakim terlalu ringan.
Keluarga korban menilai putusan 18 tahun kurungan yang dijatuhkan majelis hakim belum sesuai dengan perbuatan pelaku.
“Kepada terdakwa merupakan hukuman yang ringan, sebab perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa seharusnya dihukum mati, karena perbuatannya sangat sadis,” kata salah satu keluarga saat melakukan aksi protes di ruang sidang Cakra, usai mendengar putusan hukuman kepada terdakwa.
Polisi yang saat itu bertugas mengamankan jalannya persidangan langsung melakukan pengamanan terhadap terdakwa agar terhindar dari amukan massa yang semakin membabibuta di dalam ruang sidang dan di luar ruang sidang.
Terdakwa lalu dibawa ke ruang tahanan PN Kupang serta massa yang melakukan aksi usai sidang langsung diarahkan polisi ke luar ruangan.
Majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Ketua Yetedi Windiarton, didampingi dua hakim anggota, Prasetio Utomo dan Tjokorda Pastima, telah mempertimbangkan seluruh keterangan terdakwa dan fakta persidangan serta pembelaan penasuhat hukum, sehingga putusan tersebut lebih ringan dari tuntutan JPU.
Sebelumnya, JPU menjerat terdakwa dengan Pasal 340 KUHP terkait Pembunuhan Berencana jo Pasal 338 KUHP terkait pembunuhan biasa dengan ancaman hukuman pidana penjara seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara.
Dalam sidang dengan agenda pembacaan putusan majelis hakim tersebut, terdakwa didampinggi penasihat hukumnya Albert Ratu Edo.
Terhadap dakwaan yang dijerat JPU, majelis hakim menilai tidak berkekuatan hukum, sehingga terdakwa dibebaskan dari dakwaan yang dijatuhkan.
Namun atas pengakuan terdakwa atas perbuatannya, majelis hakim memutuskan terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain dengan amar putusan 18 tahun penjara, dan membebankan terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000.
“Atas dakwaan yang dijerat JPU tidak sesuai dengan fakta persidangan, terdakwa melakukan perbuatannya ini dengan spontan tanpa ada niat membunuh seperti dakwaan JPU sebelumnya. Untuk itu kami membebaskannya, namun dari pengakuan terdakwa maka kami berkesimpulan bahwa terdakwa dengan spontan menghilangkan nyawa orang lain secara sadis,” jelas Yetedi Windiarton. (R1)