Connect with us

HUKRIM

TPDI Desak Polisi Usut Tuntas Kematian Mahasiswa Filsafat di Kupang

Published

on

Petrus Salestinus

Jakarta, penatimor.com – Penanganan kasus kematian mahasiswa Filsafat Unwira Kupang, asal Bajawa Carolino A. Sowo (25) atau biasa disapa Charly oleh Polsek Kelapa Lima, Polres Kupang Kota, hingga saat ini belum menunjukan titik terang, meski sudah dua minggu penyelidikan polisi sudah berjalan.

Charly ditemukan tak bernyawa secara mengenaskan di Pantai Oesapa, Kupang, NTT pada tanggal 24 Juli 2018.

Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Salestinus, kepada wartawan di Jakarta, Rabu (8/8), mengatakan, masyarakat dan keluarga korban mulai menyangsikan atau skeptis terhadap kesungguhan dan profesionalisme polisi di NTT, ketika menghadapi penyelidikan kasus-kasus kematian karena pembunuhan, karena dalam banyak kasus pembunuhan, polisi NTT sering gagal mengungkap pelaku dan sebab-sebab kematian korban.

Dia juga sampaikan, sejumlah kasus kematian akibat kejahatan pembunuhan yang tidak tuntas diungkap polisi, menurut catatan masyarakat NTT, sering diakibatkan oleh sangat lamban bahkan kurang tanggapnya aparat polisi bekerja.

Akibatnya, banyak kasus kematian karena kejahatan pembunuhan tidak berhasil diungkap sebab-sebab kematian apalagi menemukan pelakunya.

Padahal menurut dia, Polri NTT sudah naik status ke tipe A memiliki perwira dan prajurit Polri yang berkualitas, ditunjang dengan peralatan yang canggih serta anggaran belanja yang sangat besar, namun sayangnya belum diimbangi dengan pelayanan keadilan yang memadai.

“Masyarakat masih kurang mendapatkan pelayanan dengan baik dan maksimal, bahkan terkesan kepentingan rakyat diabaikan, hingga masyarakat bosan dan melupakan peristiwanya,” sebut Petrus.

Dia melanjutkan, kematian alm. Romo Faustin di Ngada, Flores NTT tahun 2009 akibat pembunuhan berencana, oleh Polres Ngada saat itu langsung meminta dokter membuat keterangan mati wajar dan dikubur begitu saja meski keluarga dan pihak gereja memprotes karena tanpa dilakukan autopsi sebagai bagian dari proses hukum (meski kemudian diungkap setelah masyarakat dan gereja melakukan gerakan advokasi secara besar-besaran), barulah aparat Polri bekerja serius dan berhasil menemukan pelaku dan sebab kematian Romo Faustin.

Dijelaskan, penanganan kasus kematian Romo Faustin dan kasus-kasus lain seperti kasus kematian alm. Ferdinandus Tarok di Carot Manggarai, Poro Duka di Sumba Barat, bahkan sekarang kasus kematian Charly, yang penanganan berlarut-larut dari hari ke hari, bulan ke bulan hingga tidak tertangani dengan cepat dan profesional, memberi kesan buruk seolah-olah polisi memberi peluang kepada pelaku untuk lari dari proses hukum, hingga berujung dengan tidak terungkapnya pelaku dan sebab-sebab kematian.

“Oleh karena itu kasus kematian Charly, mahasiswa Filsafat asal Ngada di Kupang, harus dikontrol dan diadvokasi terus menerus sebagai bagian dari peran partisipasi aktif masyarakat agar menjadi prioritas bagi Polda NTT,” tandas dia.

Polisi NTT kata Petrus, harus segera memastikan sekaligus menunjukan tangungjawabnya sebagai institusi negara yang wajib melindungi segenap warga masyarakat tidak terkecuali warga masyarakat kecil.

“Jangan biarkan NTT menjadi “The Killing Fields” atau “Ladang Pembantaian” nyawa manusia. Kasus Ferdinandus Taruk (24), pria warga Sondeng, Kelurahan Karot, Ruteng, kasus penembakan Poro Duka di Sumba Barat sejak April 2018 hingga sekarang belum jelas siapa pelakunya merupakan potret buram jeleknya kinerja Polisi di NTT yang terkenal lamban, kurang profesional atau karena sebab lain akibat intervensi kekuatan tertentu membuat polisi jadi tumpul dan belum mau berpihak kepada rasa keadilan publik,” tegas Petrus Salestinus.

Polisi menurut advokat senior Peradi di Jakarta ini, seharusnya memberikan prioritas tinggi berupa jaminan pelayanan keadilan bagi seluruh warga masyarakat secara merata, dimana peristiwa kematian karena kejahatan pembunuhan sulit atau dibuat sulit untuk diungkap hanya karena korban dan keluarganya orang miskin dan buta hukum.

“Jika saja Polri tidak berubah dalam soal pelayanan keadilan, maka hal ini akan berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri.
Jika kemudian Polri gagal menemukan dan menangkap pelakunya, maka NTT akan dikenal sebagai “The Killing Fields” atau ladang pembataian, tanpa ada yang bertanggung jawab. Hukum seolah-olah mati dan nyawa manusia NTT seperti tidak berharga di mata penegak hukum,” pungkas Petrus Salestinus. (R3)

Advertisement


Loading...
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

HUKRIM

Polisi Berhasil Menangkap Dua Pelaku Penikaman Terhadap Mahasiswa di Oesapa

Published

on

Kapolresta Kupang Kota, Kombes Pol Rishian Krisna Budhiaswanto.
Continue Reading

HUKRIM

Senin, Sidang Perdana Perkara Gugatan Kolan Foenai vs PPK, Kadisdibud NTT, Gubernur dan Mendikbud

Published

on

Dr. Jonneri Bukit, S.H.,M.H.,M.Kn.
Continue Reading

HUKRIM

Karnaval Budaya yang Berubah Menjadi Mimpi Buruk

Published

on

Ilustrasi penganiayaan (net)
Continue Reading