POLKAM
Paul Liyanto: UU PPMA Bermanfaat Untuk NTT
Jakarta, penatimor.com – Komite I DPD RI tengah menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (PPMA).
Anggota Komite I DPD RI Ir. Abraham Paul Liyanto, mengatakan, RUU tersebut disusun dilandasi semangat untuk menerjemahkan amanat kontitusi bahwa masyarakat adat punya hak bersifat bawaan, bukan pemberian.
Undang-undang ini kata Paul, nantinya akan memberikan mekanisme yang pasti bagi masyarakat adat agar dapat pengakuan hukum sebagai subyek hukum dalam hal hak atas tanah, sumber daya alam, hak mengatur diri sendiri melalui lembaga dan hukum adat yang berlaku di wilayahnya.
Termasuk hak menganut dan mempraktikkan kepercayaan asli sesuai keyakinan leluhur, hak atas pengetahuan dan kekayaan intelektual yang melekat di masyarakat adat.
“Undang-undang PPMA juga mengatur soal kelembagaan masyarakat yang mengurus masyarakat adat dalam memperjuangkan hak. Selama ini tidak ada institusi yang khusus menangani administrasi terkait adat. Undang-undang ini tentu sangat bermanfaat bagi NTT yang memiliki banyak sekali masyarakat adat dan beraneka ragam budaya,” sebut Paul.
Dari pembahasan di Komite I, Paul katakan disepakati juga perlunya ada Komisi Nasional Urusan Masyarakat Adat (Komnas Masyarakat Adat) yang
memastikan bahwa ada sensus, inventarisasi dan administrasi terhadap hak masyarakat adat.
Selain itu, diperlukan juga adanya Komisi Daerah yang dapat mendata keberadaan masyarakat adat.
“Pengakuan adat dapat diajukan oleh komunitas adat setelah diverifikasi oleh Komnas Adat di daerah. RUU PPMA telah masuk dalam agenda program legislasi nasional (Prolegnas) 2012, meski belum secara kelembagaan,” jelas dia.
Senator yang juga pemilik STIKes CHMK itu melanjutkan, RUU PPMA mempertaruhkan 70 juta jiwa masyarakat adat.
“Lebih sedikit persinggungannya
bila inisiatif RUU dari DPR. Sehingga tekanan ke legislasi lebih mudah ketimbang jika dibawa ke pemerintah yang berisiko dibawa ke lintas sektor. Untuk itu saat ini sudah ada pembahasan bersama dengan DPR dan pemerintah,” sebut dia.
Paul melanjutkan, ada tiga hal terkait alasan mengapa RUU PPMA harus di sahkan.
Pertama, RUU PPHMA adalah mandat dari UUD 1945 pasal 18 b yang mewajibkan untuk menterjemahkanya dalam UU.
Kedua, UU PPHMA sangat penting bagi masyarakat adat, karena untuk menyelesaikan persoalan konflik yang terjadi antara masyarakat adat, baik dengan pemerintah atau swasta terkait pengelolaan sumber daya alam, tanah dan lainnya.
Ketiga, UU PPHMA merupakan tanggungjawab negara terhadap pengabaian hak-hak masyakat adat itu sendiri.
Sementara itu, setidaknya ada dua hal pokok yang mendasari perlunya UU PPMA.
Pertama adalah untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat dalam mempertahankan, memperjuangkan dan memulihkan hak-haknya yang dirampas oleh perusahaan maupun oleh pemerintah.
Kedua adalah karena regulasi yang mengatur tentang masyarakat sampai saat ini belum memadai.
“Sebenarnya sudah ada banyak sekali Undang-undang yang isinya mengatur tentang keberadaan dan hak-hak masyarakat adat,” ungkap dia.
Ditambahkan, urgensi pengesahan RUU PPMA, yaitu RUU tersebut sangat diperlukan guna memberi kepastian hukum atas berlangsungnya masyarakat adat dalam mempertahankan tradisi dan budayanya.
Karena selama ini kata Paul, telah terjadi perampasan secara sepihak hak-hak masyarakat adat dan konflik sosial yang terjadi di masyarakat adat.
Selain itu, lanjut Paul, konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat sudah sangat kronis dan RUU PPMA bertujuan melindungi hak-hak masyarakat adat agar tidak dirampas semena-mena dan diabaikan.
Selain itu kata Paul, masyarakat adat memiliki hak berekonomi, hak perlindungan dan pemilikan tanah ulayat, mempertahankan kepercayaan spiritual hingga pewarisan nilai budayanya.
“Oleh sebab itu kami mendesak untuk diperjuangkan perlindungan dan pengakuan atas masyarakat adat melalui sebuah RUU yang representatif mewakili seluruh komunitas adat di Indonesia,” jelas Paul. (R1/ico)