Connect with us

PENDIDIKAN & SASTRA

Paul Liyanto Serap Aspirasi Masyarakat Adat di NTT

Published

on

Paul Abraham Liyanto

Jakarta, penatimor.com – Masyarakat adat atau new indigenous merupakan masyarakat terpencil akibat hiruk-pikuk politik, pengaruh sosial budaya, urbanisasi dan beberapa faktor penyebab lainnya.

Untuk itu kehadiran dan keberpihakan pemerintah sangat dibutuhkan untuk memperjuangkan kepentingan dan hak-hak masyarakat adat.

Terhadap kondisi ini, perlu adanya Undang-undang (UU) yang mengatur dan melindungi masyarakat adat.

Anggota Komite I DPD RI Ir. Abraham Paul Liyanto mengatakan hal ini saat diwawancarai di ruang kerjanya, belum lama ini.

Ia menyebutkan beberapa ancaman terhadap masyarakat adat yang kerab terjadi di NTT, seperti tabrakan kepentingan antara pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan hak-hak masyarakat adat.

Termasuk belum adanya saluran bagi masyarakat adat untuk menyalurkan aspirasi mereka.

“Identitas masyarakat adat mulai tergerus akibat kemajuan dan teknologi. Ironinya, masih ada kampung adat yang kurang diperhatikan perawatannya,” ungkap senator dua periode asal NTT itu.

Terhadap berbagai persoalan yang terjadi, pria yang akrab dipanggil Paul itu katakan, perlu dilakukan edukasi bagi masyarakat dan generasi muda, termasuk penguatan kapasitas terhadap masyarakat adat.

Paul sampaikan pada reses yang dilakukan pada 16 Februari – 4 Maret di daerah pemilihannya, ia telah melakukan pertemuan dengan sejumlah pihak, termasuk Dinas Kebudayaan NTT.

Dari pertemuan tersebut ia mendapat banyak sekali masukan untuk diperjuangkan terkait dengan penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (RUU PPMA).

Ia juga mengharapkan Pemprov NTT mengembalikan status museum menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) sesuai amanat Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2015 Tentang Museum.

Dari pertemuan tersebut, Paul mengaku juga mendapat laporan bahwa penjualan benda-benda budaya NTT ke luar daerah bahkan ke luar negeri oleh para kolektor semakin marak.

Banyak benda-benda budaya bernilai tinggi asal NTT ditemukan di museum-museum luar negeri.

Hal ini disebabkan karena para pemilik benda budaya menjual benda-benda peninggalannya secara bebas.

“Pada pertemuan itu kami DPD RI dimohon menfasilitasi agar pemerintah segera mengatasi masalah tersebut,” ungkap dia.

DPD RI lanjut Paul, juga mendesak agar Pemprov NTT beserta Pemkot/Pemkab untuk menggali, mengumpulkan dan melestarikan Warisan Budaya
Tak Benda (WBTB) yang merupakan aset kekayaan budaya masing-masing kabupaten/kota di Provinsi NTT.

Pemerintah juga diharapkan menambah jumlah tenaga ahli yang mampu melakukan kajian ilmiah, sebagai salah satu syarat untuk mengusulkan WBTB yang ada di kabupaten/kota se- NTT sebagai karya budaya Indonesia.

“Pemprov NTT beserta Pemkab/Pemkot harus segera mungkin menerbitkan Perda tentang Perlindungan Benda Cagar Budaya, dan Perda yang melarang penjualan secara bebas benda-benda peninggalannya,” sebut Paul.

Ditambahkan, Komite I DPD RI juga akan membantu memperjuangkan rencana pembangunan gedung penyimpanan benda-benda purbakala di Museum NTT, karena dari sekira 8.000 jenis benda purbakala yang bisa dipamerkan hanya sekira 900 jenis, sedangkan 7.000 jenis lagi yang perlu disimpan secara baik pada gedung yang representatif. (R1/Ico)

Advertisement


Loading...