Connect with us

HUKRIM

Putusan Kasus Tanah Hotel Plago, Hakim Dinilai Kesampingkan Fakta Sidang

Published

on

JPU Kejati NTT, Advani Ismail Fahmi, SH., saat melimpahkan memori kasasi di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Kupang, Senin (29/4/2024).

KUPANG, PENATIMOR – Kasus dugaan korupsi pemanfaatan aset tanah Pemprov NTT seluas 31.670 m2 di Pantai Pede, Desa Gorontalo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, yang di atasnya dibangun Hotel Plago, memasuki babak baru.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur telah melakukan upaya hukum kasasi sebagai bentuk perlawanan atas putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Kupang yang membebaskan empat terdakwa.

JPU tampaknya tetap kukuh dengan keyakinannya bahwa para terdakwa terbukti bersalah dan patut dihukum.

Untuk itu, memori kasasi telah dilimpahkan oleh JPU ke Pengadilan pada Senin (29/4/2024) siang, sesuai batas waktu yang ditentukan.

Untuk merampungkan memori kasasi, tim JPU harus bekerja ekstra, karena salinan putusan baru diserahkan Pengadilan pada Jumat (26/4/2024).

Kasi Penkum Kejati NTT, Raka Putra Dharma, SH.,MH., yang dikonfirmasi media ini, Selasa (30/4/2024), mengatakan, upaya kasasi dilakukan setelah JPU menyatakan menolak putusan hakim.

“Karena putusannya bebas, maka JPU langsung lakukan upaya hukum kasasi,” kata Raka.

Menurut Raka, JPU menilai pertimbangan hakim dalam putusannya telah mengesampingkan fakta persidangan, baik itu alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, yang dihadirkan JPU.

“Pertimbangan hakim dalam putusan justeru di luar dari fakta sidang. Bagaimana bisa, majelis hakim mempertimbangkan suatu fakta hukum di luar daripada apa yang tertungkap dalam persidangan. Ada banyak pertimbangan hakim yang mengesampingkan fakta persidangan, dan semuanya sudah diuraikan secara lengkap dalam memori kasasi,” ungkap Raka.

“Ada juga keterangan yang dipertimbangkan hakim tersebut adalah berasal dari keterangan terdakwa saja, padahal alat bukti keterangan saksi yang menjadi fakta persidangan pula, menjelaskan sebagian besar dokumen administrasi proses tender tidak ditemukan, karena panitia seleksi dan panitia pengkaji tidak dilibatkan dalam proses teknis pengkajian maupun proses seleksi,” lanjut dia.

Untuk itu, menurut Raka, JPU menilai majelis hakim telah memberikan putusan yang keliru dan salah, dengan tidak menerapkan aturan hukum yang sebagaimana mestinya.

“JPU menilai putusan hakim tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 138 KUHAP. Hakim telah memberikan pertimbangan yang kontradiktif, dan mengesampingkan alat bukti. Hakim juga tidak menerapkan Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP sebagaimana mestinya, dengan tidak memberikan pertimbangan hukum yang lengkap, dan juga melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 44 ayat (2) KUHAP,” ungkap Raka.

Tidak hanya itu, JPU juga menilai Pengadilan telah keliru dan salah menerapkan hukum, karena pada saat persidangan telah memberikan seluruh barang bukti yang dilimpahkan oleh JPU berdasarkan surat pelimpahan perkara dan pelimpahan barang bukti kepada penasehat hukum terdakwa tanpa sepengetahuan JPU.

Untuk itu, dalam memori kasasi, JPU telah memohon kepada Ketua Mahkamah Agung RI agar memberikan putusan membatalkan putusan Pengadilan Tipikor Kupang.

Bertahun-tahun Kasasi tapi Belum Ada Putusan

Bidang Pidsus Kejati Nusa Tenggara Timur saat ini tengah mendata perkara-perkara pada tingkat Kasasi yang hingga saat ini belum memiliki putusan hukum tetap.

Pasalnya, ada beberapa perkara tindak pidana korupsi yang sudah cukup lama berproses pada tingkat Kasasi di Mahkamah Agung RI, namun hingga saat ini belum memiliki putusan.

Salah satunya adalah perkara korupsi dengan terdakwa Ronny Anggrek selaku Direktur PT Timor Pembangunan.

Sebagaimana perkara Nomor: 120/Pid.sus-TPK/2014/PN.Kpg, dimana dalam putusan pada pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Kupang, Ronny Anggrek divonis dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan, dengan denda Rp50 juta subsidair 2 bulan kurungan.

Ronny juga dihukum membayar Uang Pengganti Kerugian Negara sebesar Rp897 juta lebih dengan ketentuan, jika denda tersebut tidak dibayarkan hingga putusan majelis hakim berkekuatan hukum tetap, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan.

Selanjutnya, Ronny Anggrek yang menjadi terdakwa korupsi pembangunan rumah cetak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) tahun 2012 di Kabupaten Alor, mengajukan upaya hukum banding atas putusan tersebut.

Kemudian, dalam amar putusan banding Pengadilan Tinggi Kupang pada Desember 2015, Ronny Anggrek divonis 4 tahun penjara dan pidana denda Rp200 juta subsidair 3 bulan kurungan.

Ronny juga divonis membayar Uang Pengganti Kerugian Negara sebesar Rp897.391.800. Bila terdakwa tidak membayar Uang Pengganti selama sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap,, maka harta benda terdakwa akan disita jaksa, selanjutnya dilelang untuk menutupi kerugian negara. Namun bila harta benda terdakwa tidak cukup untuk mengganti kerugian negara, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 1 tahun.

Terhadap putusan banding ini, Ronny Anggrek dikabarkan melakukan upaya hukum Kasasi. Namun sudah delapan tahun berlalu, belum ada putusan Kasasi dari Mahkamah Agung RI.

Adapula perkara Nomor 30/PID.SUS-TPK/2017/PT KPG dengan terdakwa Ir. Lay Rohi, MT., yang sesuai amat putusan banding, menyatakan, terdakwa divonis pidana penjara selama 3 tahun, dan denda sebesar Rp100 juta, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan.

Lay Rohi dinilai telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dalam dakwaan subsidair.

Lay Rohi juga dihukum untuk membayar Uang Pengganti Kerugian Keuangan Negara sebesar Rp1.398.215.000, dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar uang pengganti selama paling lama 1 bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan apabila terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka diganti dengan pidana penjara selama 3 bulan.

Terhadap putusan banding ini, Lay Rohi telah mengajukan upaya hukum Kasasi, dimana berkas Kasasi dikirim sejak tahun 2018, namun hingga saat ini belum ada putusan dari Mahkamah Agung RI.

Asisten Pidsus Kejati NTT Ridwan Sujana Angsar, SH., MH., yang dikonfirmasi awak media ini, mengatakan, pihaknya sudah pernah mengonfirmasi hal ini kepada Ketua Pengadilan Negeri Kelas 1A Kupang, namun hingga saat ini belum ada putusan kasasi terhadap perkara-perkara tersebut.

“Saya sudah pernah temui Ketua Pengadilan Negeri Kupang dan mengonfirmasi perkara-perkara yang sudah lama berproses di tingkat Kasasi namun belum ada putusannya. Waktunya sudah sangat lama, seperti Ronny Anggrek ini kan upaya Kasasi nya sudah dari tahun 2015. Agak aneh kalau sampai saat ini belum ada putusan Kasasi,” kata mantan Kajari Kabupaten Kupang itu.

Bahkan menurut Ridwan, dari konfirmasi langsung ke Ketua PN Kupang, ternyata perkara tersebut tidak pernah terdaftar pada register perkara tingkat Kasasi.

“Ini satu contoh perkara, dan ada perkara lain yang sudah kami data, dan nasibnya serupa. Kami sudah mendata dari seluruh Kejari di NTT, mengenai perkara-perkara yang nasibnya serupa,” ungkap mantan Kajari Kabupaten Lembata itu.

Sebelumnya, pengamat hukum, Mikhael Feka, SH.,MH., mengatakan, apabila perkara tersebut hingga saat ini tidak terdaftar dalam register perkara Kasasi Mahkamah Agung RI, maka perkara tersebut telah memiliki kekuatan eksekutorial.

“Setelah 14 hari pasca putusan majelis hakim di tingkat banding, apabila perkara itu tidak dikirim ke tingkat Kasasi Mahkamah Agung RI maka sudah inkracht dan harus dieksekusi,” kata Mikhael.

Dia melanjutkan, jika terdakwa telah mengajukan upaya hukum Kasasi namun perkaranya tidak tercatat atau teregistrasi di Mahkamah Agung RI, maka harus dilaporkan ke Komisi Pengawasan MA RI agar melakukan pengawasan terhadap hal tersebut.

Jika MA RI menyatakan bahwa perkara tersebut tidak pernah diterima dan teregistrasi, maka secara otomatis perkara itu telah berkekuatan hukum tetap.

“Apabila perkara tersebut tidak teregistrasi Kasasi nya, maka itu berarti perkara itu tidak pernah diajukan ke tingkat Kasasi, sehingga dengan sendirinya memiliki nilai eksekutorial. Maka jaksa penuntut umum dapat mengajukan permohonan eksekusi. Artinya perkara itu hanya sampai di tingkat banding saja, dan tidak ada upaya hukum lanjutan. Apalagi perkaranya dari tahun 2015, maka sudah harus dinyatakan inkracht, sehingga dapat dilakukan eksekusi sesuai amar putusan banding Pengadilan Tinggi Kupang karena telah memiliki kekuatan eksekutorial,” jelas Mikhael Feka. (bet)

Advertisement


Loading...
error: Content is protected !!