EKONOMI
Wacana Labuan Bajo jadi Destinasi Pariwisata Superpremium, Terkendala SDM dan Sampah

Labuan Bajo, penatimor.com – Lanskap alam memukau, potensi ekonomi tinggi, dan ditunjang berbagai fasilitas yang telah dan akan dibangun. Tapi, upaya pemerintah menjadikan Labuan Bajo sebagai ’’Bali Baru’’ juga menghadapi sejumlah tantangan.
Di Labuan Bajo, ada ratusan kapal yang siap melayani paket perjalanan ke pulau-pulau sekitar.
Lanskap alam di permukaan lautnya juga tidak kalah menakjubkan. Wisatawan berlomba-lomba mencari pengalaman liburan sekhas mungkin. Mulai bermalam di atas kapal pinisi hingga berkemah di Pulau Komodo.
Umumnya butuh tiga hari dua malam mengikuti paket tur ini, dengan harga paket menembus Rp 3 jutaan.
Untuk yang ingin hemat, biasanya mengambil paket sehari dengan beberapa destinasi tanpa menginap di atas kapal. Biayanya sekitar Rp 1,2 juta.
Tidak murah memang. Maklum, pemerintah pusat dan Provinsi NTT telah berniat untuk menyulap kawasan Labuan Bajo menjadi kawasan pariwisata superpremium. Meskipun, menurut insan pariwisata setempat sendiri, definisi premium belum jelas.
Salah satu yang membuat paket-paket perjalanan itu cukup mahal adalah sewa kapalnya. Sebab, pemerintah daerah setempat menetapkan pajak untuk kapal yang masuk ke area Taman Nasional Komodo dan Labuan Bajo.
Ini dilakukan sejak dua tahun terakhir oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai Barat. Tujuannya untuk mengantisipasi defisit pendapatan.
Sebelum diatur sejak 2017, cukup banyak ”wisatawan gelap” yang merugikan daerah Labuan Bajo secara tidak langsung. Mereka datang ke Pulau Komodo dan sekitarnya menggunakan kapal langsung dari pulau lain, seperti Lombok.
Kapal-kapal dari luar pun asal bersandar di pelabuhan. ”Sempat ada perbedaan data pengunjung antara Balai Taman Nasional Komodo dengan kami, sampai 46 ribu orang,” tutur Kepala Dinas Pariwisata Labuan Bajo Agustinus Rinus.
Biaya yang seharusnya masuk ke kas daerah Manggarai Barat itu luput. Bahkan, Agustinus menjelaskan bahwa kerugian daerah sampai ratusan juta rupiah.
”Misalnya kalau normal seharusnya kita dapat Rp 600 juta setahun, ini hanya Rp 170 juta. Jadi hilangnya banyak,” imbuhnya.
Wacana tentang wisata superpremium sendiri masih digodok sejak tingkat pusat.
Agustinus mengakui pemerintah masih meraba-raba definisi pariwisata superpremium itu. ”Sekarang masih dibuat skema dan grand design-nya seperti apa,” ujarnya.
Tapi, untuk mewujudkannya, pemerintah harus berhadapan dengan berbagai masalah di Labuan Bajo. Di antaranya SDM (sumber daya manusia) dan sampah.
Agustinus menyebutkan, hanya 40 persen warga lokal yang terserap industri pariwisata setempat. Sisanya pendatang. Termasuk agen-agen wisata di Labuan Bajo. Agak berbeda dengan kondisi di Pulau Komodo, misalnya. Saat ini, 100 persen SDM yang diberdayakan di sana adalah warga asli Pulau Komodo dan Labuan Bajo.
”Kami guide hanya selama di kapal, tapi ketika sudah di Pulau Komodo harus dengan ranger. Kami tidak boleh,” tutur Hugolinus Tasman, salah seorang guide, saat mengantarkan tamu ke pulau tersebut.
Tak mudah memang tantangan yang akan dihadapi pemerintah untuk mewujudkan ”Bali-Bali Baru”. Tapi, tak mudah pula bagi siapa saja untuk menampik rayuan keindahan atas dan bawah laut kawasan Labuan Bajo, beserta pantai putih dan merah muda di Pulau Komodo.
Sebab, berwisata itu tak cuma urusan fisik dan duit. Tapi, menyangkut hati pula. Soal kepuasan, tak akan pernah bisa dihitung dengan nominal. (jawa pos.com/jim)
